Kalau Ketemu, Mau Taruh Muka di Mana?
Aku sering membayangkan, gimana rasanya kalau kita harus ketemu lagi dalam satu ruangan. Duduk di kursi yang mungkin saling berhadapan, atau paling tidak berada dalam jarak yang terlalu dekat untuk diabaikan. Apa yang harus aku lakukan? Senyum tipis seakan semuanya baik-baik saja? Atau pura-pura sibuk menatap layar ponsel padahal nggak ada pesan baru yang masuk? Dari semua kemungkinan itu, satu hal yang paling jelas: canggung akan jadi pemandangan utama, dan aku tahu aku nggak akan bisa menyembunyikannya.
Kita pernah berperang lewat ego masing-masing, saling balas, saling bongkar, bahkan saling cari celah untuk mempermalukan. Kata-kata sudah jadi peluru, komentar jadi bahan bakar, dan diam malah terasa lebih kejam. Setelah semua itu, siapa yang berani bertemu lagi dengan kepala tegak? Aku nggak yakin. Dan di dalam bayangan paling buruk, canggung itu akan menempel ke setiap gerak-gerik kita. Mau ngomong salah, mau diam juga salah.
Aku bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya paling malu? Aku, dengan segala sisa luka yang masih belum sembuh? Atau dirinya, yang mungkin juga punya penyesalan tapi nggak pernah diucapkan? Atau justru mereka—orang-orang yang dulu ikut nimbrung, ikut menyalakan api, ikut bersorak ketika kita saling serang? Kalau benar semuanya malu, kenapa nggak ada satu pun yang berani memulai perbaikan? Atau mungkin bukan malu, tapi gengsi yang terlalu besar?
Kalau dipikir-pikir, canggung itu seperti tamu tak diundang yang akan selalu datang setiap kali kita ada dalam satu ruang. Dia nggak peduli tempatnya resmi atau sekadar pertemuan biasa. Dia akan duduk di tengah-tengah kita, bikin suasana kaku, bikin semua orang salah tingkah. Dan parahnya, nggak ada cara halus buat ngusir canggung itu. Dia terlalu kuat, terlalu nyata, terlalu lengket untuk diabaikan.
Kadang aku kepikiran, mungkin memang kita sama-sama sepakat diam-diam untuk nggak usah ketemu lagi. Biarlah jalan hidup kita tetap berseberangan, biar nggak pernah bersilang. Kalau pun harus ada acara yang kemungkinan mempertemukan, lebih baik salah satu mundur. Mungkin aku yang mundur. Mungkin dia. Atau mungkin kita sama-sama cari alasan buat nggak hadir. Rasanya itu jauh lebih aman daripada harus menghadapi kenyataan bahwa kita nggak tahu harus bersikap gimana.
Tapi tetap aja ada ketakutan terselubung: bagaimana kalau suatu hari nggak bisa dihindari? Bagaimana kalau kita dipaksa duduk dalam satu meja, dalam acara yang terlalu penting untuk ditinggalkan? Bagaimana kalau tatapan orang-orang lain membuat kita nggak punya pilihan selain pura-pura baik-baik saja? Apa aku harus memaksakan senyum? Apa dia akan mengulurkan tangan untuk salaman? Apa aku harus menjabatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar tanpa jawaban.
Dan dari semua bayangan itu, yang paling nyata adalah satu: aku tahu aku pasti akan terlihat paling canggung. Aku nggak jago menyembunyikan perasaan, nggak bisa berpura-pura selancar itu. Jadi kalau nanti benar-benar ada pertemuan lagi, jangan heran kalau aku terlihat kaku, kikuk, bahkan salah tingkah. Karena canggung ini, sejujurnya, nggak pernah benar-benar hilang. Dia hanya menunggu saatnya untuk kembali muncul, tepat ketika kita dipaksa saling bertemu lagi.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!