Kalimat Bijak Itu Tidak Kenal Aku
Kenapa harus takut? Bukankah kamu pernah berjalan sendiri ketika tidak ada satu orang pun yang mau mengulurkan tangan? Begitu katanya. Kalimat itu kedengarannya kokoh, gagah, dan bikin orang seolah-olah jadi pahlawan di hidupnya sendiri. Tapi jujur saja, aku mulai tidak percaya dengan kalimat-kalimat semacam itu.
Kalimat bijak seringkali terdengar indah di telinga, tapi ketika aku benar-benar berada di titik gelap, mereka terasa hambar, dingin, dan kosong. Sederhana saja: karena kalimat itu tidak pernah benar-benar tahu masalahku. Kata-kata bijak tidak pernah ada di sisiku saat aku terkapar. Kata-kata bijak tidak pernah membantuku bangkit ketika lututku gemetar menahan sakit. Kalimat itu hanya jadi rangkaian huruf manis yang dilempar orang entah siapa, lalu dipajang di poster motivasi, di status media sosial, atau di caption foto senja.
Aku pernah mencoba percaya. Berkali-kali aku menelan kata-kata itu bulat-bulat, seperti obat yang katanya bisa menyembuhkan semua luka. Tapi kenyataannya? Obat itu cuma plasebo. Sementara hatiku tetap perih, tetap compang-camping, tetap kesepian. Kalimat bijak itu tidak pernah memelukku di malam ketika aku benar-benar butuh pelukan. Dia hanya berputar di kepalaku, terdengar indah, tapi kosong.
Yang bikin aku makin jengah, orang sering mengulang-ulang kata-kata itu seolah itu solusi paling mujarab. Padahal hidup tidak sesederhana itu. "Kenapa harus takut?" Katanya. Ya karena memang menakutkan. "Bukankah kamu pernah berjalan sendiri?" Ya, pernah. Tapi itu tidak berarti aku ingin terus berjalan sendiri. Luka lama itu tidak otomatis berubah jadi kekuatan. Kadang justru jadi beban baru yang semakin berat.
Aku tidak bilang kalimat bijak itu sepenuhnya salah. Mungkin bagi sebagian orang, mereka bekerja. Mungkin ada orang yang benar-benar terinspirasi lalu bangkit. Tapi bagiku, kalimat bijak itu seperti orang asing yang sok kenal. Mereka tidak pernah ikut duduk di sampingku saat aku nangis. Mereka tidak tahu rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kusayang. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya hidup di tubuhku, dengan kepalaku, dengan gelisahku.
Makanya, aku mulai curiga. Jangan-jangan kalimat bijak itu cuma pelarian. Cara manusia menyederhanakan hidup orang lain, karena mereka tidak sanggup memahami ribetnya luka orang lain. Jadi mereka kasih resep generik: “Kamu kuat, kamu pernah bertahan, kamu pasti bisa lagi.” Padahal mungkin tidak sesederhana itu.
Aku masih ingin percaya sesuatu, tapi mungkin bukan pada kata-kata bijak. Aku lebih percaya pada hal-hal kecil yang nyata: secangkir teh hangat di meja, satu orang yang benar-benar mau mendengar tanpa menghakimi, atau bahkan diriku sendiri yang masih mau bangun setiap pagi meski semalam rasanya ingin menyerah. Itu lebih real daripada kalimat bijak yang cuma singgah sebagai teks indah.
Jadi kalau ada yang bilang “kenapa harus takut?” biarlah aku jawab seadanya: karena aku manusia. Karena aku punya hati, punya luka, punya keraguan. Dan itu wajar. Kalimat bijak boleh saja indah, tapi jangan pernah pura-pura tahu apa yang sedang kusimpan di dadaku.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!