Mereka Tak Pernah Menceritakan Bagian Itu

 


Pernah nggak sih kamu merasa jadi karakter jahat di cerita orang lain, padahal kamu tahu betul kamu nggak seburuk itu? Kadang aku suka bingung sendiri. Orang bisa dengan gampangnya menyebut aku begini, menuding aku begitu, tapi jarang ada yang bertanya bagaimana ceritanya bisa sampai ke titik itu. Rasanya capek, karena yang disorot selalu bagian buruknya saja. Padahal, aku juga pernah baik. Aku juga pernah tulus. Aku juga pernah memberi. Hanya saja, mereka nggak pernah menceritakan bagian itu.

Aku jadi mikir, kenapa manusia begitu lihai memilih potongan cerita yang paling menguntungkan buat dirinya? Kalau aku marah, itu yang mereka ceritakan. Kalau aku kecewa, itu yang mereka sebarkan. Tapi ketika aku diam-diam berusaha sabar, mereka nggak pernah ingat. Saat aku menolong dengan tulus tanpa pamrih, itu nggak pernah jadi bahan obrolan. Seolah-olah kebaikan itu cuma catatan di buku diary yang akhirnya terkubur di laci, nggak pernah dibaca lagi.

Lucu ya, hidup itu kadang kayak drama yang ditulis sepihak. Orang lain jadi sutradara, dan aku cuma aktor figuran yang dipaksa memainkan peran jahat. Padahal, kalau kamu pernah duduk di kursi penontonku, kamu bakal lihat betapa aku juga berjuang. Aku juga punya niat baik yang tak semua orang tahu. Aku juga pernah menahan diri, demi menjaga perasaan orang lain. Tapi apa semua itu dianggap? Tidak. Karena mereka hanya ingin mendengar cerita buruknya.

Aku sering bertanya dalam hati: kenapa orang begitu mudah menilai? Kenapa mereka lebih percaya gosip dibanding bertanya langsung? Aku kadang merasa lelah jadi diri sendiri. Seakan-akan apapun yang aku lakukan, selalu ada celah buat disalahkan. Jika aku bicara, katanya terlalu keras. Jika aku diam, katanya menyimpan dendam. Kalau aku pergi, katanya lari dari masalah. Kalau aku bertahan, katanya terlalu bodoh. Jadi sebenarnya aku harus bagaimana?

Mungkin inilah hidup. Nggak semua orang siap melihat sisi baik kita. Ada yang memang lebih nyaman menyimpan versi buruk, karena itu bikin mereka merasa lebih baik. Ada yang butuh menjatuhkan kita, supaya dirinya terlihat lebih tinggi. Ada juga yang sekadar menikmati drama, tanpa peduli siapa yang terluka.

Tapi aku belajar satu hal. Aku nggak bisa mengontrol mulut orang lain. Yang bisa aku jaga cuma hatiku sendiri. Aku tahu, aku pernah baik. Aku tahu, aku pernah tulus. Dan meski itu tidak mereka ceritakan, aku masih bisa menceritakannya pada diriku sendiri. Karena hanya aku yang tahu, betapa niat itu pernah ada. Betapa usaha itu nyata. Betapa aku pernah mencoba sekuat tenaga untuk tidak menjadi jahat, bahkan ketika aku diperlakukan jahat.

Jadi kalau suatu hari kamu mendengar cerita buruk tentangku, pahamilah, itu hanya separuh dari kisah. Aku memang pernah marah, pernah kecewa, pernah salah. Tapi jangan lupa, aku juga pernah baik. Hanya saja, mereka memilih tidak menceritakan bagian itu.





sumber foto

Comments

Popular Posts