Ridwan Kamil, Lisa Mariana, dan Aku yang Terombang-ambing
Aku jadi nggak habis pikir sama perseteruan Ridwan Kamil dan Lisa Mariana. Satu sisi, ada sosok yang branding-nya bersih dan kuat, tiba-tiba luluh lantak karena isu kehamilan itu. Iya, tiba-tiba aja hancur gara-gara klaim seorang perempuan, yang di satu titik jadi sangat vokal nyari ayah biologis anaknya. Siapa sih yang nggak kaget kalau branding yang sudah dibangun bertahun-tahun bisa buyar dalam sekejap?
Aku sering mikir: gimana cara Lisa Mariana menghadapi semuanya? Dia mengekspos semuanya ke publik dengan keras, bahkan setelah hasil tes DNA jadi bahan ramai, yang menyatakan anak itu bukan dari Ridwan Kamil. Dia nangis, marah, tetep bertahan di tengah reaksi keras dari banyak orang. Apa dia benar-benar percaya pada klaimnya, atau sedang bertahan dalam situasi yang sudah nggak bisa mundur? Dan gimana dia menerima kejatuhan citranya, tapi tetap didorong oleh emosi yang entah bagaimana caranya belum selesai, bahkan setelah semua ujian itu?
Di sisi lain, Ridwan Kamil berdiri dalam bayang-bayang namanya sendiri yang runtuh. Branding “orang baik” yang selama ini melekat, kini hancur. Dia memilih menyembunyikan wajahnya dari publik untuk sementara. Saat akhirnya muncul lagi, dia tampak ragu, seolah takut memulai branding baru karena takut bangunan reputasinya akan runtuh lagi. Dan aku tidak bisa berhenti membandingkan dengan diriku sendiri: aku juga hancur, nggak ada sisa reputasi yang bisa dipertahankan. Semua yang kubangun untuk diriku sendiri kini tampak hampa.
Yang bikin tambah runyam, aku nggak tahu harus mikir apa. Apakah mereka kuat karena punya dana bayar tim komunikasi? Atau memang secara mental mereka punya strategi bertahan yang lain? Apa mereka kecewa, marah, merasa dikhianati, atau benar-benar sudah mati rasa terhadap penilaian publik? Apa mereka pernah terpikir buat bunuh diri, seperti aku pernah munculkan di kepala? Dan, bagaimana mereka bangun dari reruntuhan edisi mereka masing-masing, apakah ada semacam rasa malu yang harus ditelen dulu sebelum bisa berdiri lagi, atau mereka mampu tersenyum di balik retakan-retakan itu?
Aku di sini, yang cuma jadi penonton di panggung hidup mereka, malah merasa semakin kecil. Semua ini menambah rasa sesak dalam diriku. Kalau aku yang nama dan reputasinya cuma buruk di lingkup kecil, sampai sangat kesulitan bernapas, mereka yang terkena badai publik di panggung nasional, bagaimana mereka menjalani hari-harinya? Apa mereka juga sulit bernapas? Apakah mereka sesak juga?
Aku nggak minta solusi atau kata-kata penyemangat. Aku cuma ingin tetap nge-share rasa sesakku ini. Karena melihat pertarungan mereka, rasanya sendiri jadi makin menghantui. Dan pertanyaanku: apa seseorang bisa bangkit lagi setelah reputasinya luluh lantak? Atau justru malah hilang sama sekali, seperti aku sekarang yang sedang mencari pecahan diri di antara reruntuhan?
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!