Trauma yang Tak Punya Nama
Andai kamu tahu, betapa susahnya berdamai dengan trauma. Rasanya seperti berusaha menutup pintu, tapi selalu ada angin yang menyelinap masuk lewat celah. Kadang aku bahkan nggak bisa menunjuk pasti: trauma yang mana? dari siapa? kapan? Tapi tubuhku, pikiranku, hatiku—semuanya seperti sudah tahu kalau ada sesuatu yang pernah pecah, lalu pecahannya masih tertinggal sampai sekarang.
Ada hari-hari di mana aku merasa baik-baik saja. Bisa ketawa, bisa ngobrol, bisa terlihat normal. Tapi di tengah semua itu, ada bagian kecil di dalam diri yang tetap sakit. Kayak luka lama yang udah ketutup kulit baru, tapi masih nyut-nyutan kalau ditekan. Orang lain mungkin nggak lihat. Orang lain mungkin bilang aku sudah sembuh. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang nggak benar-benar hilang.
Yang bikin sesak itu, aku nggak bisa selalu menjelaskan. Nggak bisa kasih narasi yang runut. Trauma itu sering datang dalam potongan: suara tertentu bikin aku cemas, aroma tertentu bikin aku kaget, kalimat sederhana bisa bikin aku terlempar ke masa lalu. Kadang aku cuma bisa diem, napas jadi pendek, dada jadi sesak, padahal nggak ada satu pun alasan yang kelihatan di luar.
Pernah aku coba cerita. Tapi masalahnya, gimana cara menjelaskan sesuatu yang bahkan aku sendiri nggak ngerti? Orang lain maunya kepastian: siapa yang bikin kamu gini? apa yang sebenarnya terjadi? kapan? bagaimana? Sedangkan aku cuma bisa bilang: “Aku nggak tahu persis. Tapi aku tahu ada yang rusak.” Dari situ, aku belajar untuk banyak diam. Karena yang nggak pernah mengalami, biasanya hanya bisa mendengarkan sebentar, lalu menilai.
Berdamai dengan trauma itu seperti memeluk bayangan. Kamu tahu dia ada, kamu bisa merasakannya mengintai, tapi kamu nggak bisa benar-benar menggenggamnya. Dan setiap kali kamu coba lari, bayangan itu ikut. Aku capek. Kadang aku ingin semua hilang begitu saja. Ingin rasanya bangun suatu pagi tanpa beban, tanpa ingatan samar, tanpa rasa takut yang nggak jelas asalnya.
Tapi hidup nggak pernah sesederhana itu. Jadi aku belajar pelan-pelan. Kalau datang rasa cemas, aku biarkan lewat. Kalau muncul rasa takut, aku peluk sebisaku. Kalau tubuhku bereaksi tanpa alasan, aku bisikkan pada diriku sendiri: “nggak apa-apa, ini cuma sisa.” Dan walau nggak sempurna, setidaknya aku nggak menyerah.
Berdamai dengan trauma itu bukan soal melupakannya, tapi soal hidup dengan sisa-sisanya. Bukan soal menghapus, tapi menerima bahwa ada bagian dari diri yang pernah luka. Kadang aku masih jatuh. Kadang aku masih marah. Kadang aku masih sesak. Tapi aku juga tahu, aku masih di sini. Masih bisa bangun tiap pagi. Masih bisa bernapas.
Dan mungkin, itu sudah cukup.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!