“What If" yang Nggak Pernah Habis
Kadang aku heran, kenapa kepala ini dipenuhi dengan begitu banyak pertanyaan yang nggak ada ujungnya. Kenapa rasa takut selalu muncul dalam bentuk “what if”? What if aku gagal? What if semua orang menertawakan? What if ternyata aku nggak pernah cukup? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berdengung, seperti nyamuk yang nggak bisa ditampar. Kenapa nggak bisa diam barang sehari saja? Kenapa rasa takut selalu pakai kata-kata pengandaian, seolah-olah masa depan itu monster yang siap menerkam?
Lalu ada yang bilang faith itu bentuknya “even if.” Tapi apa benar sesederhana itu? Even if gagal, aku tetap berdiri. Even if ditertawakan, aku tetap melangkah. Tapi gimana kalau aku bahkan nggak tahu caranya berdiri? Gimana kalau bahkan sebelum melangkah, aku sudah merasa lumpuh? Apa mungkin punya faith tanpa pernah merasa takut? Apa mungkin punya keberanian tanpa pernah dihantui “what if”? Kalau setiap kali aku mencoba meyakinkan diri, bayangan “what if” lebih cepat berlari dan mendahului keyakinanku, apa itu berarti aku lemah? Atau semua orang memang begitu, cuma mereka lebih pandai menyembunyikannya?
Aku jadi mikir, apa hidup memang selalu di antara dua kata itu? “What if” versus “even if.” Kenapa harus ada dua-duanya? Kenapa otak nggak bisa memilih salah satu saja biar nggak ribet? Kalau aku hanya hidup dengan “what if,” hidup terasa penuh teror. Tapi kalau hanya “even if,” apa nggak terkesan terlalu nekat, terlalu buta pada kemungkinan? Jadi, apakah manusia memang ditakdirkan untuk selalu bimbang di antara takut dan percaya?
Pertanyaannya makin banyak. Kalau benar faith itu “even if,” kenapa rasanya aku selalu kalah sebelum sempat mencoba? Even if aku jatuh, siapa yang bakal menolong? Even if aku bangkit, apa masih ada yang peduli? Even if aku terus berjalan, apa jalan ini punya ujung? Atau sebenarnya semua cuma lingkaran, dan aku akan balik lagi ke titik awal, capek tanpa hasil? Kalau begitu, apa gunanya semua ini?
Lalu aku juga bertanya, apa orang lain juga punya kepala yang berisik kayak gini? Apa mereka juga dihantui “what if” setiap malam sebelum tidur? Atau cuma aku yang kebetulan terlalu sensitif, terlalu overthinking, terlalu gampang merasa takut? Kalau mereka juga punya, kenapa terlihat lebih tenang? Apa mereka benar-benar lebih kuat, atau cuma pintar menutupi kegelisahannya?
Aku bertanya lagi, kapan “what if” bisa benar-benar berhenti? Apa perlu mati dulu biar otak nggak lagi menjerit dengan segala kemungkinan buruk? Apa “faith” itu sesuatu yang lahir alami, atau harus dipaksa? Kalau harus dipaksa, gimana caranya? Kalau nggak bisa dipaksa, apakah itu berarti aku akan selamanya hidup dalam bayang-bayang ketakutan?
Dan semakin aku bertanya, semakin aku sadar kalau jawabannya nggak pernah datang. Pertanyaan ini seperti sumur tanpa dasar. Aku jatuh ke dalamnya, berulang kali, dan nggak pernah sampai di titik henti. Jadi, apa memang hidup itu cuma soal menanggung pertanyaan yang nggak pernah selesai? Apa memang selama aku hidup, “what if” akan terus menghantui, dan “even if” hanya jadi bayangan samar yang sulit kukejar?
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!