“Allah Mboten Sare”: Peringatan atau Ancaman?
Ada satu kalimat yang sering banget kita dengar, terutama dari orang Jawa: “Allah mboten sare.” Artinya, Allah tidak pernah tidur. Sekilas, kalimat ini sederhana, penuh pengingat, bahkan menenangkan. Tapi jujur aja, kadang ada rasa lain yang ikut muncul. Seperti ada tekanan, seolah kalimat itu juga bisa dibaca sebagai ancaman. Pertanyaannya, apakah memang begitu?
Kalau dipikir-pikir, ucapan itu biasanya muncul di dua situasi. Pertama, saat kita lagi susah, lagi merasa diperlakukan nggak adil. Ada orang yang nyelekit banget, nyakitin kita, lalu ada teman atau orang tua bilang, “Sabar, Allah mboten sare.” Nah, di momen ini, kalimatnya terasa adem. Rasanya kayak diingatkan kalau Tuhan itu selalu awas, Dia lihat semua yang kita alami, dan kita nggak perlu khawatir. Keadilan itu ada, meski mungkin datangnya nggak sekarang.
Tapi ada juga situasi kedua: ketika kita yang salah. Misalnya ada orang berbuat curang, nipu, atau main kotor, lalu orang lain bilang, “Ingat lho, Allah mboten sare.” Nah, di sinilah rasa “ancaman” itu terasa. Seolah-olah kita sedang dipantau 24 jam, nggak ada ruang buat sembunyi. Mau ngelakuin apa aja, sekecil apa pun, semua tercatat. Buat sebagian orang, ini bikin nggak nyaman, karena rasanya kayak ada CCTV ilahi yang selalu nyala.
Nah, terus kita harus menilainya gimana? Ancaman atau pengingat? Bisa jadi keduanya. Karena memang sifat kalimat itu fleksibel, tergantung siapa yang dengar, dan dalam konteks apa ia diucapkan. Kalau kita lagi terzalimi, kalimat ini jadi pelukan. Tapi kalau kita yang lagi salah jalan, ia jadi cambukan.
Aku pribadi lebih suka menganggap kalimat ini sebagai “rem.” Karena kadang kita ini kan suka lepas kendali. Lagi marah, lagi kecewa, pengen balas dendam, eh diingatkan, “Hei, Allah mboten sare.” Itu semacam kode halus, supaya kita nggak kelewat batas. Bukan semata-mata nakut-nakutin, tapi justru menjaga.
Akhirnya, mungkin memang harus kita terima kalau kalimat ini punya dua wajah: bisa jadi obat, bisa jadi peringatan keras. Dan itu wajar. Toh, hidup juga memang nggak melulu soal disayang-sayang. Ada kalanya kita butuh diingatkan dengan cara yang agak “menyengat.” Jadi, ketika dengar Allah mboten sare, coba tanyakan ke diri sendiri: ini sedang jadi penguat, atau sedang jadi teguran? Karena makna sebenarnya selalu kembali ke hati yang menerimanya.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!