Belajar Bikin Bahagia Sendiri
Aku lagi belajar satu hal penting, kamu bukan tanggung jawab manusia untuk dibahagiakan. Jangan pernah pasrahkan kebahagiaanmu di tangan orang lain. Buatlah bahagiamu sendiri, karena pada akhirnya kita cuma siapa-siapa yang gampang dilupakan. Dan itulah yang aku coba lakukan sekarang, meskipun jujur, nggak selalu gampang.
Beberapa waktu lalu aku sempat down gara-gara undangan itu. Dari sekian banyak nama pejabat yang tercantum, cuma namaku yang nggak ada. Rasanya kayak ditampar pelan, tapi sakitnya lama. Aku mikir yang tidak-tidak, bertanya-tanya kenapa aku sengaja dikeluarkan, apa aku masih harus dihukum, atau memang aku dianggap nggak layak duduk bareng mereka? Pikiran-pikiran itu muter terus di kepala, bikin dadaku sesak sendiri.
Untungnya, aku nggak sendirian. Istriku hadir tepat saat pikiranku mulai keruh. Dia duduk di sebelahku, di balkon rumah, tempat kami sering menghabiskan waktu kalau lagi butuh suasana tenang. Malam itu kami ngobrol panjang. Aku cerita soal rasa kecewaku, soal egoku yang terusik, soal marahku yang kadang nggak bisa kutahan. Dan seperti biasa, dia menenangkan. Katanya, “Udah, nggak usah terlalu dipikir. Mereka punya dunianya sendiri. Kamu juga punya cara sendiri buat bahagia.”
Obrolan di balkon itu pelan-pelan meredakan kemarahan. Angin malam, suara jangkrik, ditambah kalimat sederhana dari orang yang paling paham aku, bikin aku sadar, aku memang bukan siapa-siapa. Kalau aku berharap terlalu tinggi pada pengakuan manusia, aku sendiri yang hancur. Justru di titik ini aku harus belajar bikin bahagia versiku, yang nggak bisa dirusak oleh keputusan sepihak orang lain.
Jadi, aku mencoba berdamai. Ya, aku kecewa. Ya, aku sempat sakit hati. Tapi aku juga sadar, bahagia itu bukan hadiah dari orang lain, melainkan sesuatu yang harus aku bentuk sendiri. Kalau aku terus menggantungkan diri pada undangan, pengakuan, atau perlakuan istimewa dari orang lain, aku akan terus jadi korban keadaan. Maka dari itu, aku memilih jalan lain, bikin bahagia dengan caraku, mulai dari hal sederhana, duduk di balkon, ditemani istri, sambil belajar menerima bahwa aku memang hanya “aku”. Dan ternyata, itu lebih dari cukup.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!