Bodohnya Aku Mengharap Tenang di Dunia

 


Bodoh banget ya kalau aku ngarep tenang total di dunia ini, seolah ada tempat di bumi yang steril dari gaduh, dari sengitnya perasaan, dari omongan orang, dari kebisingan hati. Ironisnya, kita malah sering mendoakan “ketenangan” untuk yang sudah pergi. “Semoga almarhum tenang di sana,” begitu kata orang. Kenapa ya kita mudah percaya ada “tenang” di akhir hidup, tapi susah banget nemu rasa itu saat masih bernafas?

Mungkin sebabnya sederhana, ketenangan yang orang doakan untuk yang mati itu bukan soal kondisi fisik, tapi tentang akhir dari pergulatan. Mati menutup seluruh urusan, meniadakan ambisi, melunakkan dendam, mengakhiri semua kebisingan. Sementara hidup itu proses, penuh tuntutan, tanggung jawab, dan kebetulan yang sering nggak ramah. Jadi aku sadar, tuntutanku mencari “tenang” di tengah hidup sama aja kayak nunggu hujan tanpa payung, berharap tapi enggak siap basah.

Tapi bukan berarti aku nyerah. Ada bedanya antara niru rekaan “tenang abadi” dan nyari ruang kecil untuk bernapas. Tenang di dunia bukan kondisi mutlak, ia adalah rangkaian momen-momen kecil, bangun pagi tanpa panik, makan tanpa tergesa, memberi batas ketika obrolan jadi racun, menutup gawai sebelum tidur. Tenang bukan hadiah instan, ia latihan. Ibarat taman, harus disiram, dicabut rumputnya, kadang ditebangi pohon yang akar-akarnya merusak, baru deh ada area yang bikin nyaman duduk sebentar.

Aku juga belajar bahwa “tenang” bukan soal menghilangkan semua masalah, tapi soal bagaimana menyikapinya. Bisa jadi doa untuk yang sudah tiada mengajarkan sesuatu, legakan yang hidup, belajarlah merelakan. Kalau kita cuma ngincer aman terus berharap orang-orang di sekitar berubah, ya percuma. Kita harus mulai dari ruang kecil di dalam diri, menetapkan prioritas, bilang tidak tanpa merasa bersalah, dan menerima bahwa beberapa hal memang di luar kendali.

Dan ada satu hal lagi yang bikin aku malu sekaligus bebas, kadang aku terlalu mendramatisir semua hal, berharap scenenya berubah jadi adem. Padahal banyak orang yang jalani hari-hari biasa tapi bahagia, bukan karena hidup mereka sempurna, tapi karena mereka memilih buat nggak memberi energi pada hal-hal yang bikin rusuh. Itu juga bentuk keberanian, bukan lari dari masalah, tapi memilih di mana menaruh perhatian.

Jadi, daripada ngarep tenang yang kayak-angkat-angkatan, datang begitu saja seperti semacam hadiah dari langit, aku lebih memilih menata sedikit demi sedikit. Buat aku, “tenang” hari ini bisa berupa secangkir kopi hangat, chat singkat sama teman yang ngerti, menutup pintu kamar sebentar biar napas normal lagi. Kalau konsisten, mungkin suatu hari aku akan tersenyum,  ternyata ketenangan itu bukan mitos orang mati, tapi hasil kerja kecil yang kujalani saat masih hidup.

Comments

Popular Posts