Diam yang Lebih Menyakitkan
Orang kecewa itu nggak selalu nunjukin emosinya dengan teriak atau ngajak ribut. Kadang justru yang lebih bikin bingung adalah ketika dia memilih diam. Nggak ada kata-kata kasar, nggak ada debat panjang, cuma… perubahan sikap yang halus tapi kerasa banget. Misalnya yang tadinya sering nyapa duluan, tiba-tiba jadi dingin. Yang biasanya nimbrung obrolan, sekarang cuma senyum tipis lalu pergi. Itu tandanya kecewa sudah turun level jadi sesuatu yang nggak butuh lagi klarifikasi.
Aku pernah ngalamin diperlakukan gini sama seseorang. Awalnya aku kira cuma kebetulan, mungkin dia lagi capek atau banyak pikiran. Tapi semakin lama, polanya konsisten. Chat yang biasanya cepat dibalas jadi singkat dan lama. Senyum yang dulu lebar jadi sepersekian detik aja. Nggak ada ribut, nggak ada marah terang-terangan, tapi kerasa banget kalau ada yang udah rusak di antara kami.
Yang bikin lebih berat, diamnya orang kecewa itu sering permanen. Bukan karena mereka nggak bisa maafin, tapi karena mereka nggak pengen ngulang rasa sakitnya lagi. Jadi daripada masuk ke drama ribut-ribut, mereka milih jalan paling tenang, jaga jarak, ubah sikap, dan pelan-pelan ngilang dari lingkar kita. Dan kita yang ditinggal cuma bisa nebak-nebak, “salahku di mana, ya?”
Kadang, ribut itu malah lebih enak. Minimal ada kesempatan buat ngejelasin, buat ngasih alasan, atau sekadar minta maaf. Tapi kalau diam? Itu udah kayak vonis tanpa sidang. Hukumannya jelas, hubungan nggak akan pernah sama lagi. Jadi kalau ada orang yang kecewa sama kita, jangan nunggu dia ribut. Justru perhatiin tanda-tanda kecil, karena diamnya bisa jadi kepergian yang paling tenang, tapi juga paling menyakitkan.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!