Evaluasi Rasa-Rasa Bullying

 


Hal paling jijik, menurutku, adalah ketika ada orang yang sengaja “nyudutin” atau “ngehajarin” kita di depan orang banyak. Katanya sih mau kasih masukan, katanya sih bentuk evaluasi, tapi cara mainnya bikin kita kayak lagi diseret ke tengah lapangan terus dipermalukan. 

Kalau memang mau nasehatin, kan bisa ngobrol one by one, di ruang tertutup, dengan bahasa yang baik. Itu baru namanya tulus ingin memperbaiki. Tapi kalau sengaja show off di depan banyak orang, rasanya lebih mirip atraksi pamer kuasa. Dan yang bikin miris, seringnya hal itu dibungkus dengan kalimat manis, “ini demi kebaikan bersama.” Padahal vibe-nya udah jelas kayak bullying terselubung.

Apakah aku pernah ngalamin kayak gitu? Ya jelas pernah dong! Waktu itu, aku lagi kerja bareng tim. Ada hal kecil yang kelewat dari tugasku. Sebenarnya bukan sesuatu yang fatal banget, tapi entah kenapa si orang ini merasa perlu banget mengumumkannya ke semua orang. Bayangin aja, di forum resmi, aku langsung disebut, tanpa filter, tanpa tedeng aling-aling. Katanya itu bentuk “evaluasi biar nggak terulang lagi.” Tapi buatku, itu lebih kayak nempeleng harga diriku di depan orang banyak. Yang lebih nyesek, orang-orang di ruangan itu bukannya ngasih dukungan, tapi malah ikut ketawa kecil. Dan aku cuma bisa diem, berusaha terlihat tenang, padahal dalam hati hancur lebur.

Sejak saat itu aku paham, ternyata nggak semua kritik itu niatnya baik. Ada kritik yang memang disampaikan untuk memperbaiki, tapi ada juga yang disampaikan untuk pamer posisi lebih tinggi. Yang paling konyol adalah ketika mereka bungkus sikap “nginjak orang lain” dengan label elegan bernama “evaluasi.” Kayak mau bilang, “Aku sih cuma jujur apa adanya.” Padahal kalau beneran peduli, mereka pasti paham gimana rasanya harga diri orang dipermalukan.

Aku sempat mikir lama, kenapa sih ada orang yang seneng banget ngelakuin itu? Jawabannya mungkin sederhana, biar terlihat lebih pintar, lebih berkuasa, lebih hebat di mata orang banyak. Karena dengan cara itu, spotlight-nya otomatis pindah ke mereka. Mereka jadi pusat perhatian, sementara orang yang dipermalukan cuma bisa nunduk. Dan anehnya, pola kayak gini sering banget ditemui di tempat kerja, kampus, bahkan lingkungan organisasi. Seolah-olah “evaluasi publik” itu sah-sah aja, padahal efek psikologisnya bisa lebih parah daripada yang mereka kira.

Kalau ditanya, apa aku dendam sama yang pernah ngelakuin itu ke aku? Jujur, dulu iya. Aku sempat bawa rasa sakit hati itu kemana-mana. Tapi lama-lama aku belajar buat nggak kasih panggung ke mereka. Toh, sikap mereka lebih menunjukkan kualitas diri mereka sendiri ketimbang kualitas diriku. Kalau aku jatuh gara-gara dipermalukan, berarti aku cuma makin membenarkan aksi mereka. Sekarang, kalau ngalamin hal serupa, aku lebih memilih untuk tenang, simpan perasaan, lalu evaluasi diri tanpa harus nurutin drama mereka.

Intinya sih, kritik itu perlu, evaluasi juga penting. Tapi cara menyampaikannya jauh lebih penting lagi. Nasehat yang baik nggak perlu jadi tontonan. Kalau tujuannya benar-benar ingin membangun, harusnya bisa dilakukan dengan rendah hati, empat mata, tanpa perlu menjatuhkan harga diri orang lain. Karena kalau evaluasi berubah jadi ajang pamer, percayalah, itu udah bukan evaluasi lagi, itu cuma bullying yang dipoles biar kelihatan berkelas.

Comments

Popular Posts