Grup Tanpa Suara, Notif Tanpa Makna
Entah sejak kapan, hidup kita dipenuhi dengan grup-grup yang jumlahnya nggak masuk akal. Grup sekolah, grup kerja, grup keluarga besar, grup alumni, grup RT, grup masjid, grup hobi, sampai grup random yang kita bahkan nggak pernah ngerti siapa yang pertama kali kepikiran bikin. Katanya biar gampang koordinasi, biar semua info nyampe, biar makin akrab. Tapi kenyataannya? Grup-grup itu kayak rumah kosong, rame di nama, tapi sepi di isi. Notifnya bejibun, tapi isinya lebih banyak stiker ketawa daripada informasi penting.
Aku sendiri? Udah masuk ratusan grup. Jumlahnya bikin pusing, tapi aktivitasnya nol besar. Bahkan kadang aku buka aplikasi chat cuma buat satu hal: klik “hapus percakapan.” Selesai. Aku nggak baca, nggak scroll, apalagi ikut nimbrung. Jadi jangan kaget kalau aku sering ketinggalan berita atau info penting. Sering banget ada yang nyeletuk, “Kemarin kan udah dibahas di grup!” Lah, aku mana tahu? Grup aja aku buka kalau udah kepepet, itu pun bukan buat baca, tapi biar notifnya hilang.
Lucunya, ada aja orang yang sengaja nyindir terang-terangan. “Buat apa ada grup kalau nggak pernah dibaca?” katanya. Dalam hati aku langsung pengin ketawa. Loh, yang bikin grup siapa? Aku kan nggak pernah minta dimasukin. Kadang aku bahkan baru sadar ada di satu grup setelah berbulan-bulan. Tiba-tiba ada yang tag namaku, aku bingung, “Ini grup apa lagi?” Kayak jebakan Batman, tahu-tahu kita udah dijeblosin ke dalam lingkaran obrolan yang kita sendiri nggak pernah peduli.
Dan jujur aja, aku nggak nyaman di dalam grup. Aku lebih suka ngobrol langsung, dua arah, jelas topiknya. Bukan tenggelam di lautan pesan random yang isinya antara iklan jualan, broadcast doa panjang, atau debat receh soal siapa yang bawa makanan waktu arisan terakhir. Mau keluar grup? Dibilang nggak sopan. Mau diem aja? Dibilang sombong. Mau aktif? Ah, nanti malah nyesel, karena sekali nimbrung, notifikasi nggak akan berhenti lagi.
Aneh kan? Grup itu katanya buat mempermudah komunikasi, tapi justru bikin komunikasi makin absurd. Yang benar-benar penting malah kelewat, yang nggak penting malah jadi rame. Misalnya, pengumuman rapat kerja malah tenggelam di bawah 87 stiker jempol. Atau info jadwal penting malah ketimpa foto-foto random yang nggak ada hubungannya. Akhirnya aku makin malas buka, makin malas baca, makin malas peduli.
Jadi ya, kalau ada yang nyindir aku nggak pernah baca grup, jawabanku simpel: aku nggak pernah minta ikut, jadi jangan paksa aku peduli. Grup itu, buatku, sekadar formalitas. Nama doang ada, tapi fungsinya sering kali nihil. Kalau mau jujur, grup-grup itu lebih mirip museum, rame koleksi, sepi pengunjung. Bedanya, di museum kita masih bisa belajar sesuatu. Di grup? Paling banter dapat stiker baru.
Dan kalau ada yang masih protes, aku cuma bisa bilang, tenang aja, aku tetap sayang sama kalian. Tapi maaf, grup kalian tetap bakal aku skip.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!