Ketika Bahagia Jadi Dosa
Aneh aja, katanya bahagia itu hak semua orang. Tapi begitu aku mencoba mengekspresikan bahagiaku, rasanya kayak sedang melakukan dosa besar. Orang-orang yang nggak suka melihatku tersenyum, langsung datang dengan hujatan, sindiran, dan komentar pedas. Mereka seolah-olah mau bilang, “Hei, kamu nggak pantas bahagia!” Padahal, bukankah setiap orang berhak punya momen kecil untuk merayakan dirinya?
Awalnya aku berusaha cuek. Katanya kan, kalau ada pembenci, itu tandanya kita ada di jalur yang benar. Jadi aku coba terus tersenyum, mencoba tetap berbagi sedikit cerita senang. Tapi nyatanya, setiap kali aku melakukannya, hatiku jadi babak belur. Karena yang datang bukan sekadar tatapan iri, tapi kalimat-kalimat yang sengaja dilempar buat menjatuhkan. Rasanya kayak lagi main bola, tapi aku yang jadi gawang, dan mereka bebas menendang sesuka hati.
Lama-lama aku capek juga. Bukannya aku menyerah, tapi aku sadar, tidak semua pertempuran harus dilawan dengan frontal. Jadi aku memilih diam. Aku menutup pintu bahagiaku rapat-rapat. Bukan berarti aku tidak lagi bahagia, hanya saja aku memilih menikmatinya dalam diam, tanpa harus menunjukkannya ke dunia luar. Aku simpan senyumku untuk diriku sendiri, aku rayakan kecil-kecilan tanpa perlu validasi siapapun.
Aneh memang. Kadang kita dipaksa untuk merasa kalau kebahagiaan itu harus diumumkan, biar orang lain tahu kita sedang baik-baik saja. Tapi nyatanya, ada kalanya justru lebih damai kalau kita menyembunyikannya. Bahagia diam-diam ternyata jauh lebih tenang. Nggak ada yang bisa ganggu, nggak ada yang bisa hujat, nggak ada yang bisa bikin kita ragu lagi.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!