Maulid Nabi, Sepi Versiku

 


Aku tidak punya banyak pengalaman tentang perayaan Maulid Nabi. Sejak kecil, memang bukan tipe yang suka keramaian. Jadi ketika orang-orang berbondong-bondong datang ke masjid atau lapangan, ikut barisan sholawat panjang, aku justru memilih diam di rumah. Aku tidak pernah punya kenangan yang begitu hidup tentang acara maulid. Tidak ada cerita tentang rebutan berkat, tidak ada pengalaman duduk berjam-jam mendengarkan ceramah di tengah ramainya orang. Kalau ada yang bertanya bagaimana suasana maulid di masa kecilku, jujur saja, aku hanya bisa menggeleng. Karena memang aku jarang ikut.

Mungkin juga, perayaan dulu berbeda dengan sekarang. Bisa jadi, dulu memang tidak semeriah yang ada di banyak tempat sekarang. Atau bisa jadi, aku yang tidak pernah benar-benar hadir sehingga tidak merasakan semaraknya. Yang jelas, sampai hari ini pun aku masih sama: bukan orang yang nyaman dengan keramaian. Kalau ada acara besar, aku lebih sering menghindar. Bagiku, berada di tengah banyak orang justru melelahkan. Aku lebih suka tenang, menyendiri, dan merayakan sesuatu dengan caraku sendiri.

Seperti kemarin. Tidak ada perayaan besar bagiku. Tidak ada lampu warna-warni atau panggung megah dengan sholawat yang menggema. Aku hanya pergi ke makam. Menziarahi almarhum ibuku, membacakan tahlil, dan berdoa untuknya. Itu saja. Sunyi, sederhana, tapi ada makna yang dalam. Rasanya seperti itulah caraku menghubungkan diri dengan makna maulid. Bukan lewat keramaian, tapi lewat doa yang khusyuk, lewat sholawat yang dibisikkan pelan di sela-sela doa untuk ibuku.

Kalau ditanya apa makna maulid bagiku, jawabannya sederhana: biasa saja. Aku tidak merayakannya dengan pesta, tidak juga dengan acara khusus. Hanya lewat sholawat yang sesekali kubaca setelah sholat. Itu pun sering kulakukan bukan hanya di bulan maulid. Jadi bagiku, maulid bukan sekadar perayaan tahunan yang meriah, tapi lebih kepada momen untuk mengingat. Mengingat Rasulullah, mengingat ajaran beliau, dan mengingat bahwa hidup ini sebaiknya dijalani dengan keteladanan yang beliau wariskan.

Kadang aku berpikir, mungkin ada orang yang merasa sayang dengan sikapku ini. Kenapa aku tidak ikut keramaian, kenapa tidak merasakan semarak maulid bersama orang lain. Tapi bukankah setiap orang punya caranya sendiri? Ada yang merasakan kedekatan lewat keramaian, ada pula yang menemukan makna justru dalam kesunyian. Dan aku, rupanya lebih banyak belajar dari kesunyian itu.

Jadi meski aku tidak punya cerita panjang tentang maulid, bukan berarti aku tidak punya hubungan dengan momen ini. Hanya saja jalanku berbeda. Aku lebih sering memilih diam, berdoa, mengingat, dan melafalkan sholawat dengan sederhana. Karena bagiku, Rasulullah tidak hanya dirayakan dalam satu hari meriah. Beliau sebaiknya diingat setiap hari, lewat amal, lewat doa, dan lewat usaha kecil untuk mengikuti jejaknya, meski dengan langkah yang pelan.

Itulah cara sederhanaku memaknai maulid: tanpa keramaian, tapi tetap dengan ingatan yang tidak pernah padam.




sumber foto

Comments

Popular Posts