Nyatanya, mereka lebih suka jalur drama. Dan aku, lagi-lagi harus jadi karakter utama
Entah sejahat apa yang mereka ceritakan tentangku, sampai-sampai kebencian orang-orang yang sebenarnya nggak ada hubungan sama sekali dengan kasus kemarin ikut-ikutan jadi rumit. Aku beneran nggak habis pikir. Kalau dipikir logis, orang yang nggak ngerti duduk perkaranya harusnya netral, kan? Tapi ini beda. Mereka seakan-akan dikasih naskah sinetron murahan, terus langsung percaya tanpa mikir panjang.
Aku jadi penasaran, cerita macam apa yang mereka racik sampai bisa bikin orang yang nggak tahu apa-apa ikut-ikutan jijik denganku?
Kadang aku mikir, jangan-jangan mereka punya grup produksi sendiri. Dari satu kejadian kecil, bisa dibumbui macam-macam, ditambah adegan, dibikin plot twist, bahkan mungkin ada soundtrack dramatis di kepalanya. Cerita asli yang sederhana berubah jadi drama epik penuh air mata, lengkap dengan tokoh antagonis yang nggak lain adalah aku. Lucunya, aku sendiri nggak pernah nulis cerita kayak gitu. Mereka yang bikin, mereka yang mainkan, tapi aku yang kena getahnya.
Padahal kita sama-sama dewasa. Aku kira kalau udah selevel ini, kita bisa menakar kebencian seperlunya saja. Kalau ada salah, ya dikasih tahu. Kalau ada masalah, ya dibicarakan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, kebencian mereka dirawat, dipelihara, bahkan dipamerkan. Aku sampai bingung, mereka nggak mikir kita ini satu kantor? Besok ketemu lagi, tetap satu atap, tetap ketemu wajah yang sama. Apa mereka nggak canggung hidup dengan cerita karangan yang mereka buat sendiri?
Rasanya mereka cuma peduli pada satu hal, kepuasan batin. Pokoknya kalau aku jatuh, kalau namaku jelek, kalau aku dipandang buruk, barulah mereka merasa puas. Seolah-olah itu trofi kemenangan yang mereka kejar. Aku sempat nanya ke diriku sendiri, “Apa sebegitu pentingnya aku sampai mereka segitunya?” Atau mungkin justru karena aku nggak penting, jadi gampang dijadikan bahan permainan?
Yang jelas, semua ini di luar nalar. Aku masih nggak bisa menemukan alasan waras kenapa kebencian bisa jadi sebrutal ini. Aku bukan malaikat, tentu ada salahku, tapi rasanya nggak sampai perlu dijadikan bahan gosip berjilid-jilid. Kalau benar mau dewasa, bukankah seharusnya ada cara lebih elegan? Nyatanya, mereka lebih suka jalur drama. Dan aku, lagi-lagi harus jadi karakter utama dalam cerita yang bahkan nggak pernah aku setujui sejak awal.
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!