Saat Takdir Menjatuhkan, dan Orang-Orang Ikut Menyaksikan
Ada kalanya aku masih bertanya dalam hati: mengapa bulan lalu aku harus dipermalukan sedalam itu? Apa benar ini murni takdir? Atau memang ada tangan-tangan manusia yang ikut mendorongku ke titik jatuh? Kalau kuingat kembali, rasanya keduanya berjalan beriringan. Ada garis takdir yang memang harus kulewati, tapi juga ada peran orang-orang di sekitarku yang entah sadar atau tidak, justru menambah berat bebannya.
Sekarang aku mulai melihat orang dengan cara berbeda. Aku bukan lagi orang yang gampang percaya, apalagi gampang menaruh hati. Aku mengelompokkan mereka, meski dalam diam. Ada yang kucurigai punya sifat NPD, narsistik, yang haus pujian dan ingin selalu di atas. Ada juga yang kutandai sebagai flying monkeym mereka yang tanpa sadar jadi perpanjangan tangan orang lain, ikut menyebar cerita, ikut menyulut api, meski sebenarnya bukan masalah mereka. Tidak semua orang kuanggap begitu, tapi cukup beberapa saja yang membuatku sadar: aku harus lebih berhati-hati.
Bukan berarti aku menolak takdir. Tidak. Aku bisa menerima bahwa kejatuhan itu sudah digariskan untukku. Hanya saja, lewat peristiwa itu aku belajar banyak tentang wajah-wajah manusia. Belajar bahwa tidak semua orang yang tersenyum adalah teman, tidak semua yang mendekat benar-benar peduli. Kadang justru orang-orang terdekatlah yang bisa tanpa sadar membuka pintu bagi rasa malu paling besar dalam hidup kita.
Tapi muhasabahnya begini: mungkin semua ini cara Allah memperlihatkan siapa saja yang sebenarnya ada untukku, dan siapa yang hanya hadir ketika aku sedang di atas. Aku dipaksa jatuh supaya mataku benar-benar terbuka. Mungkin rasa malu itu bukan sekadar aib, tapi juga pintu kesadaran. Kesadaran bahwa hidup ini bukan tentang menjaga citra di depan manusia, melainkan tentang menjaga hubungan dengan Allah. Sebab manusia bisa dengan mudah berbalik, tapi Allah tidak pernah meninggalkan.
Aku jadi ingat nasihat ulama salaf: “Jika engkau ingin tahu siapa kawan sejati, lihatlah siapa yang tetap tinggal ketika engkau jatuh.” Kata-kata itu sekarang rasanya lebih nyata dari sebelumnya. Dari kejatuhanku, aku jadi tahu siapa yang diam-diam ikut menertawakan, siapa yang sekadar jadi penyambung lidah gosip, dan siapa yang benar-benar peduli tanpa syarat.
Jadi, ya… meski pahit, aku mulai bisa melihat bahwa bulan lalu bukan hanya tentang dipermalukan. Ia tentang pelajaran. Tentang bagaimana Allah sedang membersihkan lingkaran hidupku dari orang-orang yang tidak seharusnya kutaruh harapan. Tentang bagaimana aku harus belajar meletakkan rasa aman hanya pada-Nya, bukan pada pengakuan manusia.
Mungkin aku jatuh supaya aku tidak lagi buta. Dan meski rasa perih itu masih ada, aku tahu, ada hikmah besar yang sedang ditanamkan di baliknya. Aku hanya perlu bersabar, dan percaya bahwa setiap luka yang datang, pada akhirnya, selalu punya maksud baik dari Tuhan.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!