Salah Nada, Salah Sambung


Lucu tapi nyata, banyak perselisihan kecil, bahkan yang akhirnya jadi besar, bermula dari hal sepele,  pesan lewat tulisan. Iya, cuma tulisan. Bukan karena isi pesannya jahat, tapi karena cara bacanya penuh emosi atau ditambah-tambahin dengan imajinasi sendiri. Jadinya ya sering salah sambung. Seseorang niatnya mungkin sekadar nulis, “Oke, nanti aku kabarin,” tapi di kepala yang membaca terdengar seperti: “Oke, nanti aku kabarin (dengan nada judes, malas, dan ogah-ogahan).” Padahal yang nulis bisa saja sambil nyengir santai depan layar.

Masalahnya, tulisan itu kan datar. Nggak ada intonasi, nggak ada ekspresi wajah, apalagi bahasa tubuh. Semua orang bebas membacanya dengan nada apa pun. Kalau hatimu lagi tenang, mungkin terbaca biasa saja. Tapi kalau lagi capek atau hatinya penuh prasangka, ya tulisan sederhana bisa kedengaran kayak sindiran atau teguran. Dari sinilah overthinking mulai kerja lembur, bikin kita menebak-nebak maksud orang di balik kalimat yang sebenarnya polos.

Harusnya, kalau memang ingin aman, tulisan ya dibaca sesuai apa adanya. Jangan ditambah nada. Jangan dibumbui dengan emosi sendiri. Apalagi kalau kebetulan hubungan kita sama si pengirim pesan lagi agak renggang, biasanya kita jadi gampang mengira yang nggak-nggak. Ujungnya malah ribut karena asumsi. Padahal, kalau mau sedikit terbuka dan berani nanya, “Eh maksudmu gimana?” semuanya bisa selesai dalam hitungan detik.

Tapi ya begitulah, manusia kadang lebih suka ribet. Tulisan dibaca pakai kacamata perasaan, lalu diolah dengan irama suara yang nggak pernah ditulis penulisnya. Contohnya, ada yang cuma nulis, “Kamu udah makan?” Kalau dibaca biasa ya itu cuma perhatian. Tapi kalau dibaca dengan nada tertentu, bisa jadi terdengar kayak interogasi, kayak orang lagi kepo, atau malah kayak sindiran. Hasilnya? Salah paham.

Makanya, kadang aku merasa tulisan itu pedang bermata dua. Di satu sisi praktis, cepat, bisa dikirim kapan saja. Tapi di sisi lain, dia rawan bikin salah tafsir. Semua tergantung pembacanya. Kalau kita terlalu bawa emosi, tulisan polos pun bisa berubah jadi peluru. Kalau kita tenang, bahkan kata-kata yang agak tajam pun bisa terasa biasa saja.

Jadi mungkin kuncinya adalah jangan buru-buru marah, jangan langsung overthinking. Kalau merasa janggal, tanya. Kalau merasa sakit hati, klarifikasi. Karena komunikasi bukan cuma soal kata-kata yang keluar, tapi juga cara kita menerima. Toh nggak semua orang jago merangkai kalimat manis. Ada yang memang to the point, ada yang seadanya. Bukan berarti mereka berniat nyakitin.

Intinya, jangan biarkan pikiran kita menambahkan nada yang sebenarnya tidak pernah ada. Karena dari nada khayalan itulah sering lahir salah paham, salah tafsir, lalu salah sambung. Dan ujung-ujungnya, kita sendiri yang capek. Lebih baik baca apa adanya, biar hati tetap lega dan hubungan tetap terjaga.

Comments

Popular Posts