Seandainya Luka Tak Datang dari Tangan yang Sama


Setiap luka yang paling dalam itu anehnya bukan datang dari orang asing, tapi justru dari tangan yang dulu pernah aku genggam penuh percaya. 

Rasanya ironis, kan? Orang luar mungkin bisa menyinggung, tapi nggak akan pernah benar-benar bikin hati berdarah. Yang bikin hancur biasanya orang dekat, teman, pasangan, atau orang yang dulu kita kira nggak akan pernah tega.

Seandainya luka itu datang dari orang asing, mungkin aku cuma bakal bilang, “ah, biasa aja.” Tapi kenyataannya, justru orang yang pernah aku peluk dengan doa yang jadi sumber sakitnya.

Seandainya dulu aku nggak gampang percaya, mungkin aku nggak bakal sesakit ini. Seandainya dulu aku nggak membuka pintu selebar-lebarnya, mungkin aku nggak bakal merasa dikhianati. Tapi gimana ya, namanya juga manusia, kita butuh percaya, kita butuh pegangan, kita butuh merasa ada orang yang bisa diandalkan. Dan kadang, kepercayaan itu justru yang jadi celah paling lebar buat disakiti. Lucunya, meski tahu risiko itu ada, kita tetap aja memilih percaya. Karena tanpa percaya, hidup jadi hambar, kayak minum kopi tanpa gula dan susu.

Tapi di sisi lain, seandainya aku nggak pernah disakiti, mungkin aku nggak bakal belajar sebanyak ini. Luka-luka itu memang pahit, tapi diam-diam dia mengajari banyak hal,  cara berdiri sendiri, cara nggak terlalu bergantung, cara melihat siapa yang benar-benar tulus. Luka itu kayak guru yang nyebelin, datang tanpa diundang, bikin kita nangis dulu, tapi akhirnya meninggalkan pelajaran yang bikin kita lebih kuat.

Seandainya luka-luka ini nggak pernah ada, mungkin aku masih sama kayak dulu,  gampang percaya, gampang luluh, gampang ditipu oleh kata-kata manis. Tapi berkat luka ini, aku tahu batas. Aku belajar bahwa nggak semua orang pantas digenggam erat-erat. Ada yang cuma pantas disapa dari jauh, ada yang cukup ditaruh di lingkar kenalan, bukan lingkar hati.

Akhirnya, aku sadar,  luka memang datang dari tangan yang dulu aku genggam penuh percaya. Tapi justru karena itu, luka jadi pengingat bahwa hati ini harus dijaga. Aku nggak bisa menghapus masa lalu, tapi aku bisa memilih bagaimana melangkah setelahnya. Seandainya besok aku harus percaya lagi, aku akan percaya dengan mata yang lebih terbuka, dan dengan hati yang lebih siap menghadapi segala kemungkinan.

Comments

Popular Posts