Ujian Selalu Datang dari yang Paling Kita Sayang

 Ada satu kalimat yang aku pin di status sosial mediaku: “kita diuji dari apa yang paling kita cintai.” Entah siapa yang pertama kali mengucapkannya, tapi semakin aku jalani hidup, rasanya kalimat itu benar-benar punya bobot yang dalam. Bayangkan saja, hal-hal yang paling kita jaga, orang-orang yang paling kita sayang, atau cita-cita yang kita peluk erat, seringkali justru itulah yang diuji habis-habisan.

Kadang aku mikir, kenapa harus begitu? Kenapa bukan hal lain saja yang diuji? Misalnya, sesuatu yang kita tidak pedulikan, atau sesuatu yang kalau hilang pun mungkin tidak terlalu bikin sakit. Tapi ternyata, justru dari hal yang paling kita cintai itulah letak “nilai” diri kita terkuak. Saat yang kita sayangi retak, saat yang kita cintai hilang, atau saat cita-cita yang kita perjuangkan hancur di depan mata, di situlah kita benar-benar dipaksa memilih,  menyerah, atau tetap berdiri.

Rasanya seperti diuji oleh kehidupan dengan pertanyaan yang paling sulit. Kalau kita kehilangan orang yang kita cintai, mampukah kita tetap berjalan tanpa merasa dunia berhenti? Kalau yang kita impikan gagal, masihkah kita mau melanjutkan langkah tanpa patah semangat? Dan kalau yang kita perjuangkan hancur, sanggupkah kita membangun lagi dari awal, meski perihnya belum sembuh?

Ujian dari hal-hal yang kita cintai itu memang kejam. Tapi mungkin justru di situlah letak pembelajarannya. Kita diajari untuk tidak menggantungkan seluruh hidup pada apa pun di dunia ini, karena semuanya bisa saja pergi. Kita belajar bahwa mencintai boleh, tapi jangan sampai membuat kita lupa bahwa hidup harus tetap berjalan.

Jadi, ketika aku membaca lagi kalimat itu di statusku, rasanya bukan sekadar kutipan indah untuk dipamerkan. Itu semacam pengingat keras untuk diriku sendiri, siap-siaplah, hidup tidak selalu memelukmu dengan lembut. Kadang, yang paling kamu genggam erat justru yang pertama kali dilepaskan darimu. Dan di situlah, hatimu akan diuji, apakah hancur, atau tumbuh lebih kuat.