Serba Salah di Mata Dunia

 


Kadang aku mikir, hidup ini memang serba salah. Mau gagal, ditertawain. Mau berhasil, dibilang sombong. Mau bertahan dengan tenang pun, tetap aja ada yang gak suka. Aku nggak tahu siapa yang bikin aturan tak tertulis kayak gini, tapi rasanya sudah jadi pola yang terus berulang di banyak tempat, termasuk di hidupku sendiri.

Dulu aku kira, kalau kita kerja keras, orang akan menghargai. Ternyata nggak juga. Ada yang diem-diem kesel karena ngerasa tersaingi. Ada juga yang bilang, “Ah, dia mah cuma hoki.” Padahal nggak tahu gimana perjuanganku di belakang layar, begadang, stres, jatuh, bangkit lagi, terus jatuh lagi. Tapi begitu aku sukses dikit aja, langsung ada aja yang nyeletuk, “Sekarang udah sombong ya.” Padahal aku cuma pengen menikmati hasil jerih payahku tanpa harus menjelaskan segalanya ke semua orang.

Lucunya, ketika aku gagal, bukan simpati yang datang, tapi tawa kecil yang disamarkan jadi candaan. Ada yang pura-pura prihatin, tapi di balik itu matanya kelihatan puas. Mungkin karena kegagalanku bikin mereka ngerasa menang. Ironis banget, kan? Dunia ini kadang lebih cepat memberi label daripada memahami cerita di baliknya.

Yang paling nyakitin sebenarnya bukan hinaannya, tapi kenyataan bahwa ternyata banyak orang yang diam-diam pengen lihat kita jatuh. Aku dulu naif, ngira semua orang pengen kita berhasil bareng. Tapi nyatanya, nggak semua hati bisa ikut bahagia dengan kebahagiaan orang lain. Ada yang justru ngerasa terancam kalau kita terlalu bersinar.

Sekarang aku belajar buat nggak terlalu ambil hati. Mau aku gagal, berhasil, atau diam pun, akan selalu ada yang ngomongin. Jadi, buat apa pusing? Kadang aku cuma nyengir aja kalau ada yang bilang aku berubah. Ya jelas berubah, lah. Aku bukan patung. Aku manusia yang ditempa keadaan. Dan perubahan itu bukan karena mau jadi sombong, tapi karena udah capek terus disalahpahami.

Kehidupan memang terkesan kejam, tapi mungkin di situlah pelajarannya. Bahwa nggak semua orang yang tepuk tangan itu benar-benar ikut bangga, dan nggak semua orang yang diam itu membenci. Yang penting sekarang aku tahu: selama aku nggak hidup buat nyenengin semua orang, aku masih bisa tenang. Karena kalo terus ngikutin penilaian orang lain, nanti aku bukan hidup, tapi sekadar jadi boneka yang disetir opini. Dan aku udah cukup lelah buat jadi itu.

Comments

Popular Posts