Playlist Subuh dan Mesin Waktu Bernama Lagu 90-an


Abis Subuh tadi, entah kenapa tangan ini refleks buka YouTube. Bukan ceramah, bukan berita, tapi malah muter lagu-lagu lama. Lagu yang dulu diputar pakai kaset, CD bajakan, atau Winamp versi trial. Backstreet Boys, *NSYNC, Five, A1, Britney Spears. Sekali klik, selesai sudah. Aku kayak ditarik pelan-pelan masuk ke lorong waktu, balik ke masa masih unyu-unyu, polos, dan belum kenal istilah cicilan, target kerja, atau tekanan hidup yang suka datang tanpa permisi.

Nada pertama aja udah bikin dada agak hangat. Bukan karena lagunya luar biasa secara musikal, kalau jujur-jujuran, sekarang pun aku tahu lagu-lagu itu simpel banget. Tapi justru di situ letak magisnya. Lagu-lagu itu nggak cuma bunyi, tapi kenangan. Bangku sekolah, seragam yang masih kebesaran, tas penuh coretan spidol, dan kepala yang isinya cuma PR, ulangan, dan naksir diam-diam sama seseorang yang sekarang bahkan mungkin udah nggak saling tahu kabar.

Lucunya, sekarang umur udah lewat 40, tapi selera musik masih nyangkut di situ-situ aja. Playlist Subuh isinya boyband, girlband, pop manis khas 90-an. Kadang aku mikir, kenapa nggak move on ke musik yang lebih “dewasa”? Jazz kek, klasik kek, atau minimal lagu-lagu yang katanya berkelas. Tapi nyatanya, begitu I Want It That Way muter, aku tetap senyum kecil. Dan anehnya, rasanya jujur. Nggak dibuat-buat.

Katanya memang benar, lagu yang kita dengarkan saat muda itu yang bakal setia nemenin kita sampai tua. Karena lagu-lagu itu nempel di fase hidup yang paling jujur. Saat kita belum terlalu banyak topeng. Belum sibuk jadi versi diri yang “diterima sosial”. Masih jadi diri sendiri tanpa mikir citra. Jadi wajar kalau sekarang, di usia yang katanya matang, justru lagu-lagu itu yang terasa paling nyambung.

Ada rasa sedih dikit sih, jujur. Bukan sedih yang lebay, tapi semacam kesadaran halus, waktu sudah jauh berjalan. Orang-orang di lagu itu tetap muda di layar, suaranya tetap sama, tapi kita yang berubah. Rambut nambah uban, badan gampang pegal, pikiran makin penuh. Tapi justru itu yang bikin lagu-lagu ini terasa seperti pelukan. Mereka nggak nanya kamu sukses atau gagal. Mereka cuma datang, muter, dan bilang, “Tenang, kamu pernah bahagia.”

Subuh tadi, sambil dengerin Britney Spears, aku duduk diem. Nggak scrolling, nggak ngapa-ngapain. Cuma denger. Dan untuk beberapa menit, hidup terasa ringan. Nggak ada tuntutan harus produktif, harus kuat, harus dewasa. Cuma aku, lagu lama, dan kenangan yang nggak minta apa-apa. Mungkin itu gunanya nostalgia, bukan buat hidup di masa lalu, tapi buat ngingetin kalau kita pernah sesederhana itu.

Dan ya, mungkin sampai nanti rambut benar-benar putih, aku masih bakal muter lagu-lagu 90-an. Bukan karena nggak mau maju, tapi karena di sanalah bagian diriku yang paling jujur pertama kali terbentuk. Lagu-lagu itu bukan soal selera. Mereka rumah.

Comments

Popular Posts