deru kugi wa utareru — paku yang menonjol akan dipukul

 


Ada sebuah pepatah Jepang yang berbunyi deru kugi wa utareru — paku yang menonjol akan dipukul.

 Sederhana, tapi dalam sekali maknanya. Kalimat ini sering membuatku merenung: benarkah menjadi berbeda, menonjol, atau keluar dari barisan justru membuat seseorang lebih mudah jadi sasaran? Dan kalau memang begitu, apakah kita harus berusaha menundukkan kepala, bersembunyi dalam keramaian, supaya aman dari palu kehidupan maupun palu manusia?

Kadang aku melihat kenyataan itu dalam hidup sehari-hari. Orang yang berani bersuara jujur, sering kali dianggap sok pintar. Orang yang mencoba tampil beda, justru dicemooh, seolah-olah dia terlalu percaya diri. Orang yang menolak ikut-ikutan, malah dicap sombong. Rasanya, dunia tidak selalu ramah pada mereka yang menonjol. Dunia lebih suka orang-orang yang patuh, diam, ikut arus, dan tidak mengguncang kenyamanan. Seperti barisan paku yang rapi di papan, tidak ada yang berani lebih tinggi karena tahu risiko dipukul itu nyata.

Aku pun sering bertanya, apakah ini salahnya yang menonjol? Atau salahnya masyarakat yang tidak bisa menerima perbedaan? Kalau dipikir-pikir, mungkin dua-duanya ada benarnya. Karena menonjol berarti siap terlihat, dan terlihat berarti siap dikritik. Tapi di sisi lain, masyarakat yang tidak bisa memberi ruang bagi perbedaan, hanya akan melahirkan barisan orang-orang yang sama, seragam, tanpa warna, tanpa ide.

Namun, ada sisi lain yang menarik. Bukankah paku yang dipukul itu sebenarnya justru paku yang berguna? Paku yang menonjol, lalu dipukul, akhirnya melekat lebih kuat ke papan. Ia menjadi bagian penting dalam bangunan itu. Sementara paku yang tidak pernah dipukul, mungkin saja longgar, mudah dicabut, tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi bisa jadi, pepatah itu bukan hanya soal hukuman, tapi juga soal pembentukan. Orang yang menonjol akan ditempa lebih keras, dipukul lebih banyak, supaya akhirnya dia lebih kokoh.

Lalu, apakah aku ingin jadi paku yang menonjol atau paku yang rata-rata saja? Itu pertanyaan yang tidak mudah. Karena jujur, aku takut dipukul. Takut dihakimi, takut dijauhi, takut dilabeli macam-macam. Tapi di sisi lain, ada bagian dari diriku yang tidak mau hidup hanya untuk berbaris rapi tanpa jejak. Ada keinginan untuk menjadi sesuatu yang berbeda, untuk berdiri lebih tinggi meski tahu resikonya.

Mungkin, kuncinya ada pada kesiapan hati. Kalau ingin menonjol, harus siap dipukul. Kalau ingin berbeda, harus siap disalahpahami. Kalau ingin bersuara, harus siap diteriaki balik. Semua itu konsekuensi. Dan bukankah hidup memang seperti itu? Tidak ada pilihan yang tanpa risiko.

Jadi, deru kugi wa utareru bukan hanya tentang ancaman, tapi juga tentang peringatan. Kalau mau berbeda, jangan hanya siap menonjol, tapi juga siap ditempa. Karena justru dari pukulan-pukulan itu, kita bisa jadi lebih kuat, lebih dalam, lebih berguna. Mungkin sakitnya terasa sekarang, tapi hasilnya bisa jadi lebih kokoh di masa depan.

Pertanyaannya sekarang, apakah aku cukup berani menjadi paku yang menonjol? Atau aku akan memilih tetap rata, aman, tapi tanpa jejak berarti?




sumber foto

Comments

Popular Posts