Ketika Kebencian Bukan Milik Kita, Tapi Kita yang Membawanya
Aku sering mikir, kebencian itu mirip api kecil di sudut ruangan. Kalau nggak ada yang nyulut atau meniupnya, dia bakal padam sendiri. Tapi kalau ada yang datang, bawa bensin, ya jadilah kebakaran besar. Dan di cerita ini, api itu ada di hati seorang anak. Api yang awalnya cuma percikan kecil, tapi membesar karena ada orang dewasa yang nggak sadar sedang meniupnya.
Aku lihat sendiri gimana anak itu berubah. Dulu dia biasa-biasa aja, nggak punya urusan sama drama orang dewasa. Tapi suatu hari, telinganya mulai dipenuhi cerita-cerita penuh amarah. Ada suara-suara yang bilang, “Dia itu jahat, nggak bisa dipercaya,” atau “Hati-hati, dia pernah begini-begitu.” Anak itu mendengar, menyerap, lalu menyimpannya rapat-rapat. Padahal yang bicara itu cuma lagi terbawa emosi, atau mungkin sedang kesal. Nggak sadar kalau kalimat itu akan terus hidup di kepala si anak, bahkan setelah masalahnya selesai.
Yang bikin miris, orang tuanya sendiri sebenarnya udah berdamai dengan masalah itu. Udah nggak ada dendam, nggak ada permusuhan. Tapi si anak… dia nggak ikut berdamai. Dia masih bawa semua kebencian yang dulu dia dengar. Dia masih marah, kecewa, bahkan membenci orang yang mungkin sekarang udah berubah. Semua itu dia simpan, seakan itu bagian dari identitasnya.
Aku tahu dia korban. Korban dari ujaran yang nggak seharusnya dia dengar. Korban dari orang-orang yang sedang marah, tapi nggak sadar marahnya ikut nyasar ke telinga yang polos. Tanpa peran mereka yang mengobarkan api itu, mungkin kebenciannya udah lama padam. Mungkin dia udah bisa melihat dunia dengan lebih jernih. Karena sejujurnya, kebencian itu—sekencang apa pun rasanya—bisa disembuhkan kalau ada yang membantu memadamkannya.
Kadang aku pengen banget bilang ke dia, “Nak, nggak semua yang kamu dengar dulu itu benar. Bahkan kalau benar pun, sekarang banyak hal yang sudah berubah.” Tapi aku juga ngerti, ngomong begitu ke orang yang udah lama memelihara kebencian itu nggak gampang. Apalagi kalau dia merasa kebencian itu adalah bentuk loyalitas pada masa lalu.
Yang bikin aku paling nyesek adalah, dia nggak pernah milih untuk benci. Dia cuma anak yang kebetulan ada di tempat dan waktu yang salah, dengerin percakapan yang seharusnya nggak dia dengar. Dia nggak tahu caranya memisahkan fakta dari emosi. Dia nggak punya bekal untuk menilai ulang. Dan sekarang, dia tumbuh dengan beban yang nggak pernah jadi miliknya.
Kalau aku boleh jujur, aku pengen semua orang dewasa sadar bahwa mulut kita ini kadang jauh lebih tajam daripada yang kita kira. Satu kalimat yang keluar karena emosi, bisa jadi belati yang ditancapkan di hati anak. Dan luka itu nggak sembuh sendiri. Butuh waktu, butuh kesadaran, dan butuh keberanian untuk bilang, “Maaf, dulu kami salah.”
Semoga suatu hari nanti, ada yang bisa memadamkan api itu di hatinya. Karena nggak ada anak yang pantas tumbuh dengan kebencian yang dititipkan orang lain.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!