Mengapa Dibenci Itu Menyenangkan?

 


Ada sebuah pertanyaan yang terdengar aneh tapi menarik: mengapa dibenci itu terkadang terasa menyenangkan? Kalau kita pikir sekilas, dibenci itu mestinya menyakitkan, membuat hati remuk, dan menguras energi. Namun jika ditarik ke ranah filsafat, terutama filsafat Yunani, ada sisi lain yang bisa membuat kita melihat kebencian orang lain sebagai sesuatu yang justru memberi kepuasan tertentu.

Socrates pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak diperiksa (unexamined life) bukanlah hidup yang layak dijalani. Kalimat itu bisa kita tarik pada konteks kebencian. Saat ada orang yang membenci kita, berarti ada sesuatu dalam diri kita yang memancing reaksi. Bisa jadi kita sedang hidup dengan cara yang terlalu jujur pada diri sendiri, terlalu berani untuk berbeda, atau terlalu menolak tunduk pada arus. Dan di situlah letak “kenikmatan”-nya. Dibenci menandakan kita sedang mengguncang kenyamanan orang lain, sedang memaksa mereka untuk memeriksa hidup mereka sendiri melalui keberadaan kita.

Nietzsche, meski bukan filsuf Yunani klasik, membawa gagasan yang sering disejajarkan dengan semangat tragis Yunani. Ia menyebut bahwa manusia yang berani menjadi dirinya sendiri, yang berani mengatakan “ya” pada hidup, pasti akan mendapat resistensi. Dalam kerangka ini, kebencian orang lain bisa menjadi semacam bukti bahwa kita sedang menapaki jalan otentisitas. Bukankah menyenangkan ketika kebencian orang lain justru menjadi konfirmasi bahwa kita tidak sedang hidup untuk memuaskan mereka, melainkan sedang setia pada jalan kita sendiri?

Plato dalam “Republik”-nya membicarakan tentang bayangan dan cahaya. Ia menekankan bahwa kebenaran sering kali membuat orang marah, karena kebenaran itu menyilaukan. Bayangkan seseorang yang keluar dari gua lalu kembali untuk memberitahu orang-orang bahwa dunia di luar lebih nyata. Apa yang terjadi? Ia akan ditolak, bahkan dibenci. Dan anehnya, di situlah letak kebahagiaan tersembunyi: dibenci karena membawa kebenaran lebih memuaskan daripada dicintai karena kebohongan.

Aristoteles juga punya pandangan menarik. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk politik (zoon politikon), selalu hidup bersama dan terhubung. Dalam ruang sosial itu, konflik dan kebencian bukan sekadar ancaman, tapi tanda bahwa kita benar-benar hadir. Jika semua orang netral terhadap kita, mungkin kita belum cukup berarti. Dengan kata lain, kebencian kadang bisa dianggap indikator bahwa eksistensi kita punya bobot, punya pengaruh, entah positif atau negatif.

Jadi, mengapa dibenci itu bisa menyenangkan? Karena ia menunjukkan bahwa kita sedang berjalan di jalur yang menantang, bukan jalur yang aman-aman saja. Karena ia menandakan bahwa kita punya keberanian untuk berbeda, untuk menegakkan sesuatu yang mungkin tidak populer tapi sesuai hati. Dan karena kebencian orang lain, meski menyakitkan, sering kali lebih jujur daripada cinta yang palsu.

Pada akhirnya, kebencian bisa dilihat sebagai cermin. Ia memantulkan sesuatu dari diri kita yang mengusik orang lain. Dan bila kita mampu menatap cermin itu dengan tenang, kita akan menemukan semacam kepuasan: bahwa kita tidak hidup sia-sia, bahwa kita cukup berarti hingga ada yang rela membenci. Bukankah itu, dengan cara yang agak ironis, adalah bentuk pengakuan yang menyenangkan?





sumber foto

Comments

Popular Posts