Film yang Tak Pernah Jadi Favoritku

 


Sedari kecil, aku merasa film-film tentang kebrutalan PKI itu terlalu suram untuk dilihat. Bayangkan, anak-anak kecil disuguhi adegan-adegan penuh darah, wajah seram, dan cerita kelam tentang masa lalu bangsa. Rasanya nggak masuk akal aja. Waktu itu, kalau ada acara nonton film yang katanya “wajib” ditayangkan, aku paling hanya lihat penggalan-penggalannya. Itu pun sambil menutup mata separuh, karena hatiku memang nggak kuat melihat adegan-adegan kejam semacam itu.

Sekarang, setelah dewasa, aku sadar bahwa pilihanku waktu kecil itu bukan sekadar menghindar, tapi lebih ke soal kenyamanan. Untuk nonton pun kayaknya tidak. Bukan karena aku menolak sejarah, bukan pula karena aku pura-pura nggak peduli pada luka bangsa. Sama sekali bukan itu. Aku hanya merasa genre film semacam itu nggak cocok buatku. Ada orang yang memang bisa menikmati film perang, thriller, atau horor politik, tapi aku? Aku lebih suka yang ringan, yang bisa bikin hati lega, bukan bikin tidur gelisah.

Aku paham, sejarah memang penting. Kita harus mengingat agar tidak terulang, kita harus tahu luka masa lalu supaya bisa belajar darinya. Tapi memahami sejarah nggak selalu harus lewat film yang menampilkan kebrutalan. Bisa lewat buku, diskusi, cerita orang tua, atau dokumenter yang lebih netral. Menurutku, sejarah itu soal makna, bukan soal seberapa seram visual yang ditampilkan. Kadang, terlalu banyak menekankan pada sisi horornya justru bikin orang malas tahu, seperti aku ini.

Kalau dipikir-pikir, mungkin ada juga pengaruhnya ke psikologis. Aku tipe orang yang gampang kepikiran. Sekali lihat adegan menyeramkan, bisa kebawa mimpi, bisa bikin pikiran muter-muter sendiri. Jadi wajar kalau aku memilih mundur dari genre film semacam itu. Aku butuh menjaga kewarasan, dan caraku adalah dengan menyaring apa yang masuk ke kepala. Toh, nggak ada aturan baku yang bilang memahami sejarah harus dengan menonton film berdarah-darah.

Jadi ya, inilah yang aku pahami untuk saat ini. Aku tetap bisa menghargai sejarah tanpa harus duduk di depan layar menonton kekejaman yang divisualisasikan secara dramatis. Aku memilih jalanku sendiri: tahu seperlunya, paham maknanya, tapi tetap menjaga hati dan pikiranku tetap tenang. Kadang orang lain mungkin akan bilang aku “kurang nasionalis” atau “nggak mau tahu sejarah”. Tapi bagiku, bukan begitu ceritanya. Aku peduli, hanya saja aku punya cara sendiri untuk belajar tanpa harus membiarkan batin ini dipenuhi rasa ngeri. Dan menurutku, itu sah-sah aja.

Comments

Popular Posts