Aku dan Salaman yang Selalu Membuatku Gelisah


 Aku sering dengar orang bilang kalau jabat tangan bisa mengurangi dosa. Katanya, ketika telapak tangan bersentuhan, dosa-dosa kecil ikut berguguran. Entah benar atau tidak, aku sendiri tidak tahu. Tapi yang jelas, aku tidak pernah nyaman dengan sentuhan. Bahkan sekadar salaman pun, aku merasa ada sesuatu yang salah. Bukan soal ajaran, bukan soal keyakinan, tapi lebih ke diriku sendiri yang memang tidak suka disentuh.

Rasanya canggung sekali setiap kali ada orang yang ulurkan tangan. Otakku langsung panik. Satu sisi aku tahu menolak salaman itu dianggap tidak sopan, bisa bikin orang tersinggung. Tapi di sisi lain, tubuhku menolak. Seperti ada alarm dalam diriku yang langsung menyala: jangan! Jangan sentuh! Jangan biarkan siapa pun masuk ke ruang pribadimu. Alhasil, aku sering menghindar dengan cara yang kikuk. Kadang pura-pura sibuk pegang sesuatu, kadang langsung mengangguk saja tanpa menyambut tangan yang menunggu. Dan ya, hasilnya jelas: suasana jadi aneh.

Di kantor, situasinya lebih parah. Setiap pagi, ada rutinitas orang-orang saling menyapa sambil berjabat tangan. Buat mereka, itu hal biasa, hal kecil yang menunjukkan keakraban. Tapi buatku, itu seperti ujian mental yang berulang setiap hari. Aku merasa jadi orang paling aneh karena sering menolak salaman. Bahkan dengan atasan pun begitu. Aku bisa merasakan tatapan heran atau komentar kecil yang terdengar enteng tapi menusuk. “Kok nggak salaman?” atau “Jangan jaim lah.” Padahal bukan itu masalahnya. Aku benar-benar tidak nyaman.

Aku sadar betul, dalam budaya kita, salaman itu semacam simbol sopan santun. Tidak menjabat tangan bisa dianggap dingin, arogan, atau tidak menghargai. Dan di situlah kegelisahanku semakin menumpuk. Karena aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin menjaga jarak dari sentuhan fisik yang buatku terasa asing. Tapi orang-orang sering salah paham. Mereka kira aku sengaja menjaga gengsi, padahal aku cuma sedang berusaha melindungi diriku dari rasa kikuk yang luar biasa.

Kadang aku berharap ada cara lain untuk menyapa tanpa harus bersentuhan. Mengangguk, tersenyum, atau sekadar melambaikan tangan. Tapi kenyataannya, orang-orang tetap mengulurkan tangan mereka dengan refleks. Dan aku, lagi-lagi harus menghadapi dilema yang sama: ikut berjabat tangan meski tidak nyaman, atau menolak dengan risiko dianggap aneh. Dua-duanya tidak enak. Dua-duanya bikin aku ingin menghilang saja dari situasi itu.

Yang paling membuatku lelah adalah rasa bersalah setelahnya. Kalau aku menolak, aku merasa sudah bikin orang lain tersinggung. Kalau aku ikut, aku merasa mengkhianati diriku sendiri. Jadi aku selalu terjebak di antara dua hal yang sama-sama bikin perasaan tidak tenang. Dan karena ini terjadi berulang-ulang, aku jadi semakin benci dengan momen salaman. Sesuatu yang bagi orang lain begitu sederhana, tapi bagi diriku bisa jadi sumber kegelisahan yang tidak habis-habis.




sumber foto

Comments

Popular Posts