Belajar Legowo di Tengah Sorotan

 


Aku masih bingung soal apa yang sebenarnya aku rasakan sekarang. Kalau ditanya emosi, mungkin iya, tapi lebih ke reaktif sesaat—semacam kaget karena merasa dihakimi ramai-ramai. Kayak tiba-tiba ada lampu sorot nyala terang, tepat ke wajahku, dan semua orang melihat. Refleksnya pasti nggak nyaman. Tapi kalau marah? Nggak. Aku nggak marah sama siapa pun. Karena di dalam hati aku tahu, ini murni kesalahanku sendiri. Bukan salah orang lain.

Justru karena aku sadar ini salahku, aku nggak mau ngabisin energi buat nyari kambing hitam atau menyimpan dendam. Buat apa marah? Buat apa benci? Itu cuma akan bikin aku tambah capek. Kalau sudah terjadi dan nggak bisa diulang, ya mau nggak mau harus diterima. Sakit, iya. Malu, jelas. Tapi toh, nggak ada tombol “undo” di hidup ini. Yang bisa aku lakukan cuma legowo.

Bukan berarti legowo itu gampang, lho. Jangan dibayangin aku ini duduk manis sambil bilang, “Ya sudahlah.” Nggak. Legowo itu proses. Ada hari-hari di mana pikiran negatif nyelonong masuk seenaknya. Ada momen di mana aku mulai mikir, “Andai waktu bisa diputar balik…” Tapi tiap kali pikiran itu muncul, aku coba ingetin diri sendiri: itu cuma bikin hatiku berat, dan nggak akan mengubah kenyataan.

Lucunya, orang sering mikir legowo itu berarti pasrah buta. Padahal buatku, legowo itu justru tanda kita berjuang. Berjuang untuk nggak larut dalam kebencian, berjuang untuk nggak mengutuk keadaan, berjuang untuk nggak menjadikan diri sendiri musuh nomor satu. Karena jujur aja, kalau aku mau, aku bisa kok marah ke siapa saja yang terlibat. Tapi yang akan rugi justru aku sendiri.

Sekarang aku mencoba fokus ke hal yang bisa aku kontrol: cara berpikirku. Aku berusaha melatih diri untuk menerima bahwa kesalahan itu bagian dari manusia. Semua orang pernah salah, bedanya cuma besar-kecilnya dampak. Kebetulan, punyaku besar dan ramai dibicarakan. Ya sudah. Mungkin ini giliranku belajar menghadapi badai sambil tetap berdiri.

Aku nggak mau bohong, kadang aku masih merasa pahit kalau keingetan lagi. Tapi aku sadar, pahitnya pelan-pelan akan memudar kalau aku nggak terus-terusan mengunyahnya. Jadi, sebisa mungkin aku biarkan rasa itu mengendap, bukan diaduk-aduk lagi. Biar waktu yang menyaring.

Mungkin suatu hari nanti aku akan cerita lagi soal ini, tapi dalam versi yang lebih ringan—mungkin sambil senyum. Karena aku percaya, kalau sekarang aku bisa memilih untuk tidak marah, tidak benci, dan tidak menyimpan dendam, berarti aku sudah menyiapkan ruang untuk diriku pulih. Dan mungkin, itulah kemenangan kecil yang nggak kelihatan dari luar, tapi terasa banget di hati.




sumber foto

Comments

Popular Posts