Berhenti Berdebat dengan Mereka yang Tak Lagi Menghormatimu
Ada satu hal yang sering kita lupakan: tidak semua perdebatan pantas untuk dimenangkan. Kadang-kadang, ada orang yang sudah kehilangan rasa hormat kepada kita, baik karena kesalahpahaman, ego pribadi, atau sekadar karena mereka tidak ingin lagi melihat kita sebagai sosok yang setara. Dengan orang seperti ini, berdebat tidak lagi membawa pada pencarian kebenaran. Yang ada hanyalah usaha keras mereka untuk mempertahankan “pembenaran” yang mereka yakini, meski itu salah, meski itu berat sebelah. Dan yang lebih menyakitkan, kita bisa saja menguras habis energi hanya untuk menyadari bahwa pintu hati dan pikiran mereka sudah lama tertutup.
Pernahkah kamu mencoba bicara dari hati ke hati dengan seseorang yang jelas-jelas sudah tidak menghormatimu lagi? Kata-kata yang kita ucapkan terasa memantul, tidak masuk, seakan berbicara kepada tembok. Logika sekuat apa pun tidak mampu menembus dinding itu, karena masalahnya bukan pada isi pembicaraan, tapi pada hati yang sudah keras, pada sikap yang sudah memilih untuk tidak mau mendengarkan. Seperti menuangkan air ke gelas yang terbalik, sebanyak apa pun kita berusaha, tidak akan pernah ada yang masuk.
Itulah kenapa, kadang yang paling bijak adalah berhenti. Berhenti menjelaskan, berhenti membela diri, berhenti berharap orang itu mau mendengar dengan jernih. Karena pada akhirnya, perdebatan bukan lagi tentang menemukan kebenaran, melainkan tentang siapa yang lebih keras mempertahankan keyakinannya. Dan dalam kondisi seperti itu, kita hanya akan berakhir kelelahan. Kebenaran tidak akan lahir dari mulut yang penuh kemarahan atau dari hati yang sudah dipenuhi rasa tidak hormat.
Aku pernah berada di posisi itu—berusaha mati-matian menjelaskan, mengurai satu per satu, berharap mereka mengerti. Tapi yang kudapat hanya tatapan meremehkan, senyum sinis, dan balasan yang penuh sindiran. Dari situ aku belajar, ternyata masalahnya bukan pada kalimatku yang kurang jelas, tapi pada penghargaan yang sudah mereka cabut dariku. Bagaimana mungkin aku berharap mereka mau menerima penjelasan, kalau sejak awal mereka bahkan tidak lagi menaruh hormat untuk mendengarkan?
Dan di situlah titik sadar itu muncul. Aku berhenti berdebat. Aku memilih diam, meski hatiku masih ingin berontak. Diam bukan berarti kalah, tapi sadar bahwa berisik pun tak akan membuat keadaan berubah. Lebih baik menyimpan energi untuk hal-hal yang lebih berharga, daripada menghabiskannya di medan yang jelas-jelas tidak akan memberi kemenangan sejati.
Mungkin memang begitulah hidup. Tidak semua orang perlu diyakinkan. Tidak semua orang layak dijelaskan. Dan tidak semua orang harus diladeni. Kadang, melepaskan perdebatan jauh lebih bijak daripada memaksakan sesuatu yang sudah jelas tidak akan didengar. Tapi… bukankah diam dalam situasi seperti itu juga menyisakan luka kecil di dalam hati? Entah, aku pun masih mencari jawabannya.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!