Cara Aneh Kita Menyembuhkan Diri

 


Ada kalanya hidup menekan terlalu keras, sampai kita kehilangan cara yang tepat untuk berdamai dengan diri sendiri. Kadang, yang bisa dilakukan hanya menulis panjang di blog, menumpahkan isi kepala agar dada terasa lebih lega. Ada tulisan yang sengaja dipublikasikan biar dunia tahu betapa rapuhnya hati ini, tapi ada juga yang hanya dibiarkan tersimpan, tak dikunci, tak disembunyikan. Bukan untuk dibaca orang, tapi sebagai ruang kecil bernama pelarian. Tempat di mana isi hati yang berantakan bisa diletakkan tanpa harus ada yang menghakimi.

Entah kenapa, belanja pun ikut jadi pelampiasan. Bukan karena benar-benar butuh, tapi lebih ke rasa ingin menemukan kesenangan instan, meski sebentar. Duduk lama-lama menatap layar toko online, memasukkan barang ke keranjang, lalu satu per satu di-checkout. Rasanya seperti menaruh luka ke dalam kotak, lalu mengirimkannya jauh-jauh agar hati terasa ringan. Padahal aku tahu, ketika barang itu sampai, kesenangan itu akan cepat hilang. Yang tersisa hanya kardus kosong, tapi setidaknya aku punya jeda dari rasa sesak yang terus menempel.

Aku juga membeli buku-buku motivasi. Enam judul sekaligus, seakan-akan setiap lembar kertasnya bisa menjadi obat untuk hati yang retak. Bukan karena aku yakin semua jawabannya ada di sana, tapi karena aku butuh sesuatu untuk menemaniku melewati masa tunggu. Masa menunggu hingga luka ini betul-betul pulih, hingga aku punya tenaga untuk kembali menghadapi dunia. Membaca kata-kata bijak orang lain membuatku merasa tidak sendirian. Bahwa ada orang-orang yang juga jatuh, lalu memilih bangkit dengan caranya masing-masing.

Masalahnya, aku tidak masuk kantor. Tidak izin, tidak menjelaskan, hanya diam dan absen. Aku sadar, itu membuatku terlihat seperti pegawai paling menyebalkan. Tapi jujur, aku tidak punya tenaga untuk pura-pura baik-baik saja. Aku hanya mengerjakan beberapa hal kecil yang masih sanggup kulakukan dari jauh, sekadar agar aku tidak merasa sepenuhnya gagal. Sisanya, aku memilih bersembunyi. Menghindar dari kontak dengan orang-orang. Mengunci diri bukan karena benci, tapi karena terlalu lelah menjelaskan apa yang bahkan tak bisa kujelaskan kepada diriku sendiri.

Kadang aku merasa bersalah, kadang aku merasa lega. Tapi begitulah cara anehku bertahan. Setiap orang punya jalannya sendiri untuk sembuh. Ada yang mencari keramaian, ada yang butuh cerita panjang dengan sahabat, ada juga yang memilih diam, menulis, belanja, atau sekadar tidur sepanjang hari. Mungkin caraku terlihat buruk bagi orang lain, tapi ini caraku menjaga diriku tetap utuh di tengah badai.

Dari semua ini, aku belajar bahwa luka butuh ruang. Ia tidak bisa dipaksa sembuh hanya karena orang lain menyuruh “sabar”. Ia tidak bisa hilang hanya karena kita berpura-pura kuat. Kadang yang kita butuhkan hanya waktu, kesendirian, dan sedikit cara aneh untuk membuat hati tetap bertahan.

Mungkin aku belum pulih. Mungkin aku masih jauh dari kata kuat. Tapi aku percaya, suatu hari nanti, aku akan bisa kembali berdiri. Dan ketika saat itu tiba, aku ingin menoleh ke belakang, lalu tersenyum pada diriku yang sekarang, diriku yang meski berantakan, tetap berusaha untuk bertahan.





sumber foto

Comments

Popular Posts