Ego yang Sekarang Tinggal Serpihan


Dulu aku lumayan percaya sama kemampuanku. Nggak bilang jago banget, tapi cukup lah buat bikin aku merasa “aku ini bisa.” Sampai akhirnya kejadian kemarin itu datang kayak gelombang besar, nyeret semuanya sampai ke dasar laut. Rasanya bukan cuma gagal, tapi juga kayak ada yang nginjek-injek harga diriku. Egoku yang tadinya berdiri tegak sekarang jadi ringkih, gampang goyah. Kadang muncul, tapi sering tenggelam. Dan kalau lagi tenggelam, dalam banget, sampai aku nggak tahu kapan bisa muncul lagi.

Aku sekarang seperti orang yang mengais-ngais puing, nyari serpihan rasa percaya diri yang dulu pernah ada. Nggak mudah. Karena setiap kali aku mulai merasa, “Oke, kayaknya aku mulai pulih,” tiba-tiba datang lagi penolakan baru. Lalu kegagalan lain. Dan runtuh lagi semua yang baru saja aku bangun. Rasanya kayak bikin rumah dari kartu—baru berdiri tiga tingkat, angin kecil saja sudah bikin berantakan.

Yang bikin tambah runyam, penolakan itu sering datang beruntun. Nggak kasih jeda buat bernapas. Jadi, mau nggak mau, aku mulai mempertanyakan: “Apa sebenarnya aku ini nggak sepintar yang aku kira?” Kalimat itu pelan-pelan merayap di kepala, dan lama-lama jadi suara yang keras, sampai susah dibantah. Padahal logikaku bilang, gagal itu normal. Semua orang gagal. Tapi rasanya beda kalau gagal itu datangnya bertubi-tubi dan nyerempet ke hal yang kita cintai.

Dulu, aku percaya bahwa kerja keras pasti ada hasilnya. Sekarang? Aku mulai mikir, mungkin kerja keras cuma salah satu faktor, dan faktor lainnya adalah… keberuntungan. Dan keberuntungan itu kayaknya lagi nggak mau mampir ke hidupku. Rasanya seperti lagi main game yang semua levelnya susah, tapi senjata yang aku punya cuma kayu tumpul.

Kadang aku iri sama orang yang kelihatan santai, tapi jalannya mulus. Bukan iri yang sampai doain jelek, tapi iri yang bikin bertanya-tanya, “Kenapa bukan aku yang ngalamin itu?” Lalu aku langsung merasa bersalah karena berpikir begitu. Tapi ya… aku cuma manusia biasa. Kalau luka, pasti ada rasa nggak adil yang muncul.

Sekarang aku nggak lagi berharap egoku pulih kayak dulu. Aku mulai menerima kalau mungkin dia akan berubah bentuk. Lebih kecil, tapi semoga lebih kokoh. Aku nggak tahu kapan rasa percaya itu bisa kembali sepenuhnya, tapi untuk sekarang, aku cuma bisa jalan pelan-pelan. Kadang berhenti. Kadang rebahan lama.

Kalau dipikir-pikir, mungkin inilah fase hidup yang nggak ada di buku panduan: fase di mana kita merasa hancur, tapi tetap harus bangun besok pagi dan pura-pura baik-baik saja. Entah sampai kapan. Tapi aku berharap, suatu hari nanti, aku bisa lihat ke belakang dan bilang, “Oh, ternyata aku nggak hancur-hancur banget, ya.”





sumber foto

Comments

Popular Posts