Malas Membenci, Malas Berdebat dengan Kepala Sendiri


Ada satu titik dalam hidup di mana aku merasa lelah, bukan karena terlalu banyak kerjaan atau terlalu banyak masalah, tapi karena terlalu banyak “suara” di kepala. Suara yang sibuk menduga-duga, menafsirkan, bahkan memprovokasi, seakan-akan setiap orang sedang sibuk membicarakan aku, menjelek-jelekkan aku, atau sekadar mencari-cari celahku. Dulu, aku sering melawan suara itu. Aku membantahnya, berdebat panjang di dalam kepala, mencoba mencari bukti bahwa semua itu tidak benar. Tapi lama-lama, aku capek. Debat dengan orang lain mungkin bisa selesai, tapi debat dengan diri sendiri tidak ada ujungnya.

Sekarang, aku mulai malas membenci. Setiap kali ada bisikan bahwa orang lain sedang menjelek-jelekkan aku, aku hanya mengangkat bahu dalam hati. “Ya sudah. Kalau memang itu yang mereka lakukan, biarlah. Itu kenyataan. Trus kenapa aku harus buang energi untuk membenci balik?” Rasanya seperti memilih jalan pintas daripada terjebak di labirin yang sama. Bukan berarti aku tidak peduli, hanya saja aku sadar, membenci tidak membuatku lebih tenang. Yang ada justru menambah beban.

Ada semacam kelegaan aneh ketika aku berhenti melawan. Diam. Tidak membela diri, tidak juga meladeni. Karena pada akhirnya, aku sadar, apa yang orang lain katakan tentangku lebih banyak bercerita tentang mereka sendiri dibanding tentang aku. Jika mereka ingin sibuk mengoceh, silakan. Kalau mereka merasa puas menghakimi, terserah. Aku tidak bisa mengatur lidah orang, tapi aku bisa memilih untuk tidak ikut larut dalam amarah yang mereka lemparkan.

Malas membenci itu ternyata bukan kelemahan. Justru semacam kebijaksanaan kecil yang lahir dari lelah. Karena semakin aku mencoba memahami, semakin jelas bahwa membenci orang lain hanya membuatku terikat pada mereka. Sedangkan dengan diam, aku bisa menjaga jarak. Aku bisa tetap berdiri, tanpa harus repot-repot masuk ke lingkaran mereka. Aku belajar bahwa diam itu bukan kalah, tapi cara paling sederhana untuk menang dari diriku sendiri.

Kadang aku bertanya-tanya, mungkin inilah fase dewasa yang sering orang sebut-sebut. Fase di mana kita tidak lagi mudah terpancing, tidak lagi sibuk mencari pembenaran, apalagi sibuk membuktikan diri. Fase di mana kita sadar, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kebencian. Aku tidak perlu membenci siapa pun hanya karena mereka memilih untuk membenciku.

Sekarang, ketika suara-suara itu kembali datang, aku hanya tersenyum kecil. Aku biarkan saja mereka berisik, karena aku tahu, pada akhirnya hanya aku yang bisa memutuskan apakah aku mau ikut gaduh atau tetap diam. Dan entah kenapa, diam itu terasa lebih melegakan. Tapi… apakah aku benar-benar kuat untuk terus bertahan dengan pilihan ini? Entahlah. Kadang aku sendiri masih ragu.




sumber foto

Comments