Monday, May 4, 2009

Mungdhe, tari khas Nganjuk

Kabupaten Nganjuk di bawah pimpinan Bupati Taufiqurrahman terus mencetak rekor. Setelah dua kali kota Nganjuk ini mencetak rekor MURI, tanggal 2 Mei kemarin, bertepatan dengan hari pendidikan Nasional. Kota Nganjuk kembali mencetak rekor MURI untuk ke tiga kalinya. Tari mungdhe massal.




Bertempat di lapangan Anjuk Ladang, Tari Mungdhe ini di ikuti oleh 2009 penari yang terdiri dari 1157 siswa SD, 579 siswa SMP, 241 siswa SMA, dan 35 siswa SMK. Selain itu juga diikuti oleh 100 paduan suara (penggerong) siswa SMK/SMU se-Kabupaten Nganjuk plus seratus perias penari.



Acara yang dihelat dalam rangka mengenalkan tari Mungdhe sebagai tari budaya khas Nganjuk ini dimulai pada pukul 15.30 WIB. Padahal informasi yang Riu peroleh adalah, rekor ini akan dimulai pada pukul 14.00 WIB. Jadi ketika acara ini berlangsung, Riu harus rela berpanas-panasan demi menyaksikan tari Mungdhe massal ini.

Mengawali rekor ini 130 penabuh (laki-laki) memasuki lapangan dengan alat musik yang mereka bawa. Kemudian diikuti oleh ratusan pembawa bendera, disusul dengan botoh dan yang terakhir adalah prajurit pembawa pedang.

Dalam tari Mungdhe massal tersebut, sebagian besar penarinya adalah perempuan. Dengan kostum hijau dan rompi merah ditambah dengan ikat kepala yang khusus dibuat untuk penampilan MURI kemarin.

Sedangkan yang memerankan botoh dalam tari Mungdhe tersebut adalah ratusan siswa SD yang tingkahnya masih lucu-lucu. Sehingga membuat acara ini semakin menarik.

Dalam kesempatan itu, pihak yang datang dari pihak Musium Rekor Indonesia (MURI) adalah Sri Widayati. Beliau ini yang menyerahkan dua penghargaan, pertama untuk Bupati Taufiqurrahman selaku pemrakarsa dan penghargaan kedua diberikan kepada Agus Susanto selaku panitia penyelenggara dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Nganjuk. Rekor ini tercatat sebagai rekor ke 3686 di Musium Rekor Indonesia.


Menurut cerita yang Riu baca, tari Mungdhe ini berasal dari desa Garu Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk [i](kalau rumah Riu Kecamatan Sukomoro, jauh banget ya...).[/i] Tari ini masih ada hubungannya dengan cerita tentang kekalahan prajurit Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirdjo melawan Belanda (1825-1830).

Setelah kalah perang, prajurit Diponegoro hidup berpencar karena selalu diawasi oleh pihak belanda. Hidup mereka hampir sama dengan buronan karena selalu dicari oleh pihak Belanda. Dari sisa-sisa prajurit itu mereka berupaya untuk menyusun kekuatan dengan cara berpura-pura menari padahal sebenarnya mereka itu berlatih perang. Ini semua dilakukan untuk mengelabui pihak Belanda yang masih mengawasi prajurit Diponegoro.

Karena para prajurit itu bertempat tinggal secara terpisah atau berpencar, maka untuk mengumpulkan para komandannya, pada saat itu salah seorang dari prajurit itu yang bernama Mbah Karsan Tarwi memukul instrumen gamelan yang disebut Penitir. Instrumen itu apabila dipukul akan mengeluarkan suara Mung. Pada saat itu Mbah Karsan memukul sebanyak tiga kali. Bunyi Mung pertama menandakan sebagai perintah untuk persiapan, Mung kedua menandakan berkumpul dan bunyi mung yang ketiga mengisyaratkan tentang dimulainya tari itu.

Dalam perkembangannya, instrumen Penitir yang berbunyi ‘mung’ itu bertambah dengan instrumen lain yaitu Bendhe atau Kempul kecil yang apabila dipukul akan mengelurakan bunyi ‘dhe’.

Kalau dilihat dengan seksama, tarian ini bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air. Selain itu tarian ini juga bersifat heroik karena gerakan-gerakan dalam tarian ini diambilkan dari gerakan keprajuritan atau silat. Tarian ini melibatkan 14 pemain. Dua orang sebagai penari, dua orang sebagai pembawa bendera, dua orang sebagai botoh dan delapan orang sebagai penabuh atau penggiring. Selanjutnya, tarian ini dikenal dengan sebutan mungdhe.

Riu hanya bisa mengucapkan selamat saja atas tercapainya rekor ini, semoga Kabupaten Nganjuk semakin jaya. Amin.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!