Thursday, September 17, 2009

Butuh Penjelasan

Selama masih hidup di tengah karunia Allah, selama Anda masih bernaung di belantara milik Allah, hanya dua hal yang harus Anda kerjakan : Tenteramkan akal jiwamu dan terbanglah bebas di udara. (Kahlil Gibran)

Aku kehilangan gairah untuk menuliskan kata pembuka dalam catatanku hari ini. Aku hanya akan menyerahkan apa pendapat pembaca semua, yang setia membaca ceritaku dalam setiap episodenya. Aku benar-benar tak tahu harus memulai ceritaku dari mana. Semuanya tampak gelap, tak bercahaya. Bahkan, untuk memperkenalkan namaku Ardian pun aku tak ada keinginan. Hingga akhirnya, aku hanya bisa mengutip kata-kata dari sang legenda.

Ada apa dengan diriku saat ini? Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, mengapa aku merasakan perasaan ini. Awalnya, semua tampak indah di pelupuk mata. Seluruhnya tampak indah memesona. Hingga akhirnya, sore kemarin, telingaku mendengar berita yang aku belum tahu kebenarannya, tapi telah membuatku menderita.

“Terkadang, sendiri memang lebih berarti. Tak ada yang kan menyakitimu.”

Aku harap, ketika honeyku selesai membaca catatanku ini, dia akan memberikan penjelasan, agar aku tak mati penasaran. Jika dia turut membaca, aku ingin dia menulis pesan padaku, agar aku tidak ragu.

Aku butuh penjelasan.


*******


Langit sudah berubah gelap ketika Ardian menghampiri para pengurus organisasi kesiswaan yang sedang bergerombol di depan masjid. Mereka sedang mengumpulkan bekas kotak makanan dan gelas minuman untuk dijual. Yang uangnya, rencananya untuk pemasukan kas organisasi mereka yang saat ini sedang tak ada uang.

Awalnya, Ardian hanya ingin mengambil gambar kebersamaan mereka. Mengabadikan kekompakan mereka. Setelah bercengkerama cukup lama dengan mereka, akhirnya ardian pun turut serta dalam kesibukan mereka. Menata dan mengumpulkan kotak bekas makanan dan gelas minuman untuk mereka.

Guyonan-guyonan khas mereka pun mulai bermunculan. Curhat mereka tentang hutang organisasi pada bendahara sekolah pun terlontar. Inilah yang menjadi alasan, mengapa mereka mau mengumpulkan kotak-kotak dan gelas-gelas bekas itu. Uang hasil penjualan barang bekas itu akan dibayarkan untuk melunasi hutang bendahara. Padahal, menurut cerita mereka, organisasi sebelumnyalah yang meminjam uang itu, tapi kepengurusan mereka yang harus menanggungnya.

Beberapa saat kemudian, setelah semua terbereskan, para organisasi putri mulai meninggalkan pelataran masjid. Mereka mulai bersiap-siap untuk sholat tarawih yang beberapa saat lagi akan ditunaikan. Dan, ketika mereka mulai beranjak pergi itulah, pertanyaan-pertanyaan dari anggota putra telah membuatnya tak lagi ada keinginan untuk berkata-kata.

“Pak, denger-denger mau nikah ya?“Pertanyaan entah yang ke berapa dilontarkan kepada Ardian. Pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda. Dan ardian akan menjawab dengan jawaban yang sama, “Katanya siapa...... kakakku saja belum menikah. Kenapa saya harus menikah?”

“Masa nikah saja nunggu kakaknya, pak?” lagi-lagi pertanyaan balik yang sama. Ke tidak mauan ardia menikah di usia muda, mendahului kakakku dipertanyakan oleh mereka. Mereka tidak percaya, Ardian, guru gaul mereka, masih percaya larangan-larangan yang sudah lama ditinggalkan.

“Kami diajarkan seperti itu oleh ibuku. Lagian, buat apa menikah di usia muda? Saya masih suka bersenang-senang kenapa harus hidup terkekang?” tantang Ardian balik. Dia mulai gerah dengan pertanyaan itu. Selalu dan selalu, alasan tidak gaul dijadikan bantahan.

Ketika mereka gagal untuk mengorek cerita ardian, topik pun berubah. Mereka mulai membicarakan Bu Ardiani sebagai bahan pembicaraan. Pembicaraan ini pun menjadi lebih menggairahkan. Karena Ardian juga penasaran, berita apa saja yang terdengar ketika dia tak ada. Sedangkan mereka, tak sadar jika Ardian mengarahkan pembicaraan mereka untuk memasuki area ini.

“Pak, denger-denger Bu Ardiani mau menikah ya?” tanya salah satu dari mereka.

“Dengan siapa?” tanya Ardian tak percaya.

“Dengan..... “jawab salah seorang dari mereka, tapi tidak meneruskan kata-katanya. Dia memandangi teman-temannya satu persatu, secara bergantian, minta persetujuan. Setelah tak ada komentar dari teman-temannya, dia melanjutkan, “Dengan Pak Aziz, Pak.”

Dug!

Seperti ada tangan tak terlihat yang begitu kuat meninju perut Ardian. Tubuhnya kini bergetar menahan sakit yang tiba-tiba menyerang. Pandangan pun mulai berkunang-kunang. Sungguh, kejadian yang tak ada hubungannya dengan pembicaraan mereka.

“Kalian dengar dari siapa?” tanya Ardian. Dia mengucek kedua matanya agar tak berkunang-kunang.

“Ada deh..... jaringan kita im3, kok. Sinyal kuat tak terbatas.” Jawab salah satu dari mereka yang juga diiyakan oleh yang lainnya. “Banyak berita yang beredar, pak. Kita tak pernah ketinggalan berita. Nara sumber pasti ada......”

“Nggak mungkinlah..... Dia saja pernah menolak, kok.” Jawab Ardian menguatkan dirinya agar tetap bisa bertahan. Pembicaraan ini telah membuat kepercayaan pada honeynya mulai berjatuhan satu demi satu.

“Yeee....., cemburu ya......” seloroh salah satu dari mereka. Ardian pun tak ingin mereka tahu, dia berusaha untuk tetap tidak terjadi apa-apa dengan dirinya, “Yeee..., ngapain cemburu.......” Balasnya. Masih dalam usaha untuk tidak memperlihatkan perubahan perasaan dari pembicaraan mereka, Ardian pun bertanya, “Kalian tahu dari siapa?”

“Ainun,” jawab mereka hampir bersamaan. “Waktu minta tanda tangan surat pernyataan, katanya bu ardiani juga mau menikah. Dalam waktu dekat ini.”

“Ha...ha...ha... ada-ada saja, kalian!” jawab Ardian sambil menahan sakit di dadanya.

“Kalau di kelas, Pak Aziz sering diolok-oloki sama anak-anak putri, menjodoh-jodohkan mereka.” Ucap salah satu dari mereka yang bertubuh hitam.

“Ha...ha...ha... yang benar saja. Masa pernah ditolak, sekarang malah diterima. Nggak mungkin.” Ardian masih berusaha untuk mengumpulkan kekuatan agar tetap bisa berdiri bersama mereka.

“Atau dengan Pak Ari?” tebak mereka lagi.

“Ha...ha...ha.. Dia Nggak level.”

“Buih, githu i?” jawab mereka tak percaya.

“Memang bener. Dia saja pernah menolak orang yang nglamar tingginya segitu, masa sekarang dia menerima pak Ari. Nggak level......” tubuhnya kini meradang.

“Lalu dengan siapa, pak?” tanya mereka lagi. Masih ingin tahu tentang kabar yang berhasil mereka dengar.

Dan setelah itu, tak terdengar lagi kata-kata mereka. Seperti ada yang dengan sengaja mengecilkan volume suaranya. Bukan-bukan, mereka masih betanya, mulut mereka masih terbuka seperti mengucapkan kalimat tanya, hanya pendengaran ardian saja yang sekarang sedang mengalami gangguan. Suara-suara mereka kini tak terdengar.

Tak hanya suara saja yang mulai tak terdengar. Tubuh mereka juga mulai memudar. Lamat-lamat, tubuh mereka mulai kabur tak berbayang. Semuanya berputar, terpendar. Orang-orang tertawa tapi ardian tak tahu dan tak mendengar.

Dia menengadah ke langit malam. Langit hitam tak berwarna. Seperti mnggambarkan suasana hati seorang laki-laki bernama ardian yang tengah termakan cemburu dan berputus asa. Tatapannya kosong, pikirannya melayang jauh entah ke mana. Hatinya begitu kelam. Derita hidup karena hidup tanpa cinta, kepercayaan dan kesetiaan telah membuatnya menderita untuk ke sekian kalinya.

Tak ada air mata yang menggenang di pelupuk mata. Tapi batinnya menangis karena harus kehilangan orang yang dicintainya, tanpa disadarinya. Dia telah menyakiti hatinya.

Daun-daun berguguran di atas tanah. Motor Ardian mulai menerobos malam. Meninggalkan keramaian.




No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!