Monday, June 20, 2016

The Hardest Pill to Swallow

 
Beberapa waktu yang lalu sengaja mampir ke tukang potong langganan. Rambut kayaknya udah harus dipendekin, udah susah diatur dan sering bikin ribet karena sedikit panjang. Setelah mengantri beberapa, tiba giliranku.

Seperti biasa, basa-basi si tukang potongnya menanyakan hal-hal yang sering aku dengar. Akunya juga sedikit bosan karena pengulangan-pengulangan setiap pertanyaan. Terkadang kalau saya sedang tidak ingin menjawab, hanya senyum saja maka dia akan ganti topik dan pertanyaan lainnya. Banyak pertanyaan yang aku jawab hanya dengan senyuman saja. Dia pasti sudah tahu jawabannya, karena pertanyaan itu sealu ditanyakan ketika aku datang kesitu.

Satu pertanyaan yang selalu membuatku harus menghela nafas dalam adalah pertanyaan tentang seseorang di masa laluku. Sampai sekarang rasanya kalau harus mendengar namanya, atau nama suaminya, selalu membuatku gagal move on, kata orang.

Meski aku sadar, dia adalah bagian dari masa lalu, tetap saja rasanya masih susah untuk melupakan ataupun mengelak dari kisah itu. Tidak bisa mengelak, tapi juga tak bisa berbuat banyak. Dia adalah bagian masa laluku. Ingiinnya aku bisa memutar kembali, mengulang dan menjutkan, menjadikannya bagian dari masa depanku, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.

It's the hardest rule to follow (I'm thinking of you)
I really wish that I could call you (What can I do?)
You can find another me tomorrow,
and that's the hardest pill to swallow, babe.

If I woke up and I called it quits ('cause I'm thinking of you)
If today I gave up all of this (I don't know what to do)
Maybe I could get you back tomorrow
And that's the hardest pill to swallow, baby.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!