Ketika Kebencian Tak Lagi Punya Batas
Aku sering mikir, kebencian orang dewasa itu sebenarnya sederhana. Kalau dua orang sama-sama sadar, sama-sama mau mengalah, lalu saling meminta maaf, biasanya masalahnya bisa reda. Mungkin nggak langsung hilang sepenuhnya, mungkin masih ada sisa luka yang bikin hati perih kalau diingat lagi. Tapi setidaknya ada pintu untuk berdamai. Setidaknya ada ruang untuk bilang, “oke, kita nggak harus berteman, tapi juga nggak perlu saling menjatuhkan.”
Tapi masalahnya, kebencian itu jarang berhenti di situ. Alih-alih disimpan dan diurai pelan-pelan, justru disebarkan ke orang lain. Ceritanya jadi panjang, semakin banyak telinga yang ikut mendengar, semakin banyak mulut yang menambahkan bumbu. Dan anehnya, semakin jauh dari inti masalah, justru semakin panas. Rasanya seperti api kecil yang seharusnya bisa padam dengan seember air, tapi malah disiram bensin oleh orang-orang yang nggak tahu apa-apa, tapi merasa berhak untuk ikut serta.
Yang lebih miris lagi, kebencian itu kadang sampai menetes ke telinga anak-anak. Anak yang polos, yang bahkan belum bisa mengelola emosinya sendiri, tiba-tiba dijejali cerita penuh amarah dari orang-orang yang mereka percaya. Mereka diseret ke dalam lingkaran kebencian yang bukan milik mereka. Padahal harusnya anak-anak itu tumbuh dengan cerita tentang kasih sayang, tentang cara memaafkan, tentang bagaimana menjadi dewasa yang tahu caranya menahan diri. Tapi yang mereka dengar justru kalimat penuh benci, dendam yang belum selesai, dan luka yang diwariskan tanpa mereka minta.
Aku membayangkan, apa jadinya nanti anak-anak itu? Apakah mereka akan meniru kebiasaan orang tuanya, mewarisi dendam yang bukan milik mereka? Atau mereka akan tumbuh dengan bingung, tidak tahu kenapa harus membenci seseorang yang tidak pernah berbuat salah langsung kepada mereka? Rasanya nggak adil. Tidak adil untuk anak-anak yang harus menanggung warisan emosi orang dewasa yang nggak selesai dengan dirinya sendiri.
Kadang aku berpikir, mungkin inilah alasan kenapa lingkaran kebencian nggak pernah benar-benar putus. Karena setiap kali ada masalah, bukannya diselesaikan di ruang yang sempit, justru dilempar keluar supaya orang lain ikut nimbrung. Dan semakin banyak yang nimbrung, semakin sulit untuk kembali ke akar masalahnya.
Pada akhirnya, yang tersisa hanya kelelahan. Orang yang berseteru sudah capek, tapi gengsi menahan untuk berhenti. Orang yang mendengar cerita ikut terbawa emosi, padahal awalnya nggak ada sangkut pautnya. Dan anak-anak? Mereka diam-diam belajar, bahwa ternyata kebencian itu bisa diwariskan, bahkan tanpa perlu diminta.
Dan aku, di tengah semua ini, cuma bisa bertanya-tanya: kapan sebenarnya orang dewasa benar-benar mau berhenti…?
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!