Lebih Sakit dari Gigi yang Dicabut


Barusan dua gigi paling belakangku resmi dicabut. Rasanya aneh, mulut jadi agak kosong di sudut belakang. Tapi yang paling mengejutkan, prosesnya tidak sesakit yang kubayangkan. Ada sedikit rasa ngilu, tentu saja, tapi ternyata jauh lebih ringan dibandingkan cerita-cerita horor orang soal cabut gigi. Aku duduk, diam, dokter bekerja, lalu selesai. Hanya beberapa menit. Dan aku pun keluar dari ruangan dengan senyum kecut yang bercampur lega.

Tapi di tengah perjalanan pulang, aku tiba-tiba kepikiran sesuatu: ternyata rasa sakit dicabut gigi tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit karena perbuatan manusia. Sakit fisik itu masih bisa diukur, masih ada obatnya, masih ada jeda waktu yang akan menyembuhkan. Tapi sakit karena ucapan, perlakuan, atau pengkhianatan orang lain? Itu sering kali menetap, membekas, bahkan bertahun-tahun tak hilang.

Aku jadi teringat, bagaimana dulu aku pernah jatuh ke titik paling rendah hanya karena kalimat tajam seseorang. Sekali ucap, langsung merobohkan semangat yang selama ini kukumpulkan perlahan. Rasanya benar-benar berbeda dengan sakit fisik. Kalau gigi yang sakit bisa ditambal atau dicabut, hati yang sakit karena manusia hanya bisa ditenangkan dengan proses panjang: maaf, doa, dan waktu yang tidak sebentar.

Kadang aku bertanya-tanya, kenapa manusia tega menyakiti manusia lain? Padahal mereka juga tahu rasanya disakiti. Kita sama-sama punya hati, sama-sama punya luka yang pernah tumbuh di masa lalu. Tapi entah kenapa, banyak yang memilih mengulang pola yang sama—menyebarkan sakit itu lagi, melemparkan ke orang lain, seolah dengan begitu mereka bisa merasa lebih ringan. Padahal nyatanya, sakit itu tidak hilang, hanya berpindah.

Dan aku pun sadar, dalam hidup ini kita akan terus berhadapan dengan dua jenis sakit: sakit fisik dan sakit batin. Bedanya, sakit fisik membuat kita belajar bersabar, tapi sakit batin menguji apakah kita mampu memaafkan. Kalau gigi bisa dicabut dan selesai, rasa sakit hati justru menuntut lebih dari itu. Ia mengajarkan kita untuk tidak menumbuhkan kebencian baru dari kebencian lama, untuk tidak melanjutkan rantai luka yang diwariskan orang-orang sebelum kita.

Kadang aku iri pada tubuh. Ia tahu cara menyembuhkan diri: luka mengering, gigi baru tidak tumbuh tapi mulut tetap beradaptasi, jaringan rusak perlahan diganti dengan yang baru. Hati manusia lebih rumit. Ia tidak otomatis sembuh hanya dengan waktu. Ia butuh keikhlasan, butuh keberanian untuk merelakan, butuh doa yang panjang agar bisa pulih.

Jadi, ketika aku duduk termenung setelah cabut gigi, aku hanya bisa tersenyum getir. Betapa mudahnya menghadapi sakit fisik, betapa sulitnya menghadapi sakit hati. Dan mungkin, justru di situlah letak ujiannya. Apakah kita memilih jadi seperti tubuh yang pandai memulihkan diri, ataukah kita memilih jadi luka yang tak pernah selesai.




sumber foto

Comments

Popular Posts