Diam: Bentuk Marah yang Paling Sunyi

 


Ada satu titik di mana marah itu udah nggak bisa lagi keluar lewat kata-kata. Bukan karena nggak punya apa-apa buat diucapin, tapi karena sadar semua kata itu percuma. Mau ngomong sekeras apa pun, mau debat sepanjang apa pun, hasilnya tetap sama, nggak ada yang berubah. Nah, di situ diam jadi jalan terakhir. Diam bukan berarti nggak peduli, tapi justru karena marahnya sudah terlalu penuh sampai-sampai mulut nggak lagi sanggup jadi corongnya.

Orang sering salah paham. Mereka pikir kalau kita diam, artinya kita lemah atau sudah pasrah. Padahal sebenarnya, diam itu bisa jadi bentuk marah yang paling keras. Cuma bedanya, suaranya nggak terdengar. Diam itu kayak api yang nggak ada asapnya, tetap panas, tetap membakar, tapi nggak semua orang bisa langsung merasakannya. Ada saat-saat aku milih tutup mulut bukan karena takut, tapi karena aku tahu ngomong pun percuma. Sakitnya justru di situ, ketika kata-kata jadi sia-sia.

Aku pernah ngalamin momen kayak gitu. Duduk di sebuah ruangan, dikelilingi orang-orang yang sibuk ngomong, menyudutkan, bahkan kadang sengaja nyulut emosi. Awalnya pengen bales, pengen jelasin semuanya biar mereka ngerti. Tapi makin dipikir, makin sadar, buat apa? Mereka toh sudah punya kesimpulan sendiri. Mereka sudah percaya dengan versi cerita yang mereka buat. Jadi aku cuma duduk, diam, tapi di dalam hati rasanya meledak-ledak.

Lucunya, diam itu sering bikin orang lain salah tingkah. Mereka kira aku nggak punya jawaban, mereka pikir aku kalah. Padahal dalam hati, aku lagi menahan letupan yang jauh lebih besar daripada omongan mereka. Diam itu bukan tanda kalah, tapi tanda aku udah nggak mau buang tenaga untuk hal yang nggak ada gunanya.

Dan kadang, diam itu nyakitin diri sendiri juga. Karena marahnya tetap ada, cuma nggak bisa keluar. Jadi dia mengendap, numpuk, dan bikin dada terasa sesak. Rasanya kayak lagi nahan napas di bawah air, pengen banget keluar tapi nggak bisa. Itu yang bikin diam terasa berat. Bukan cuma karena orang lain nggak ngerti, tapi juga karena diri sendiri jadi ladang penyimpanan emosi.

Jadi kalau ada yang tanya, kenapa aku lebih sering diam sekarang? Jawabannya simpel, karena aku udah tahu, ngomong pun nggak akan bikin beda. Diam itu pilihan, pilihan paling pahit, tapi kadang juga pilihan paling waras. Diam bukan damai. Diam itu marah, cuma dalam bentuk paling sunyi.

Comments

Popular Posts