Curhat tentang Oversharing yang Kadang Nggak Bisa Direm
Ada satu hal yang belakangan sering bikin aku bengong sendiri, kenapa aku gampang banget oversharing? Serius. Baru dipancing dikit, cuma ditanya, “Gimana kabarmu?” atau “Lagi sibuk apa?” eh tiba-tiba aku udah ngejelasin kisah hidup dari A sampai Z, lengkap dengan subplot dan soundtrack emosionalnya. Kayak mulutku tuh punya agenda sendiri, dan dia nggak pernah rapat koordinasi sama otakku.
Padahal kalau dilihat dari luar, aku tipe yang introvert. Bukan tipe yang suka nongol di tengah keramaian, bukan juga orang yang gampang sok dekat. Tapi anehnya, begitu ketemu orang yang sedikit bikin aku nyaman, tombol “spill everything” langsung ke-push. Dan itu bukan satu dua kali. Udah berkali-kali. Sampai kadang aku pulang dan cuma bisa bilang ke diri sendiri, “Astaga, kenapa tadi aku cerita sejauh itu?!”
Ada satu momen yang bikin aku sadar betapa gampangnya aku oversharing. Waktu itu lagi ngobrol biasa sama seseorang, biasa banget, topik yang receh. Lalu dia tanya, “Kenapa kemarin kayaknya kamu agak murung?” Harusnya aku bisa jawab simpel: “Iya, lagi capek.” Tapi entah kenapa, yang keluar dari mulutku malah bab empat novel hidupku lengkap dengan flashback dan trauma masa kecil. Pokoknya udah kayak bukaan awal drama Korea. Dia cuma duduk, ngangguk-ngangguk, sementara aku merasa kayak lagi tampil tanpa skrip dan nggak ada tombol stop.
Kalau dipikir, mungkin ini karena introvert itu justru bisa meledak ketika ketemu tempat yang terasa aman. Orang yang biasanya hemat energi sosial, ketika menemukan seseorang yang vibes-nya cocok, langsung kayak nemu colokan listrik. Jadi curhat bukan sekedar curhat, tapi kayak “akhirnya ada tempat buat ngeluarin semua yang numpuk selama ini.” Dan karena kita jarang cerita ke banyak orang, begitu ada satu orang yang bikin nyaman… semuanya keluar sekaligus. Kayak ember yang udah penuh dan cuma butuh goyangan sedikit untuk tumpah.
Ada juga faktor kebiasaan, kadang kita nggak sadar bahwa bertahun-tahun memendam banyak hal membuat kita jadi cepat melepas apa pun begitu ada celah sedikit. Trauma, tekanan, atau rasa kesepian yang lama nggak dikasih ruang, akhirnya jadi bahan bakar oversharing. Kita kira itu kedekatan, padahal bisa jadi itu kebutuhan untuk didengar, kebutuhan yang nggak pernah benar-benar kita sadari.
Dan jujur, di balik oversharing itu kadang ada rasa bersalah. Habis cerita panjang lebar, tiba-tiba muncul pikiran, “Duh, kebanyakan ngomong nggak ya? Dia jadi ilfeel nggak ya? Harusnya aku nahan dikit…” Tapi ya gimana, semuanya sudah terjadi. Mulut udah tanda tangan kontrak tanpa nyuruh otak baca dulu.




Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!