Kenapa Kita Suka Jadi Hakim Tanpa Jabatan?

 Kadang aku suka heran sama manusia, termasuk diri sendiri. Kenapa sih kita sering banget pengin menghukum orang lain lebih parah dari kesalahannya? Kayak ada kepuasan tersendiri kalo lihat orang jatuh, apalagi kalau kejatuhannya itu rame-rame ditonton publik. Gak tahu dari mana datangnya hasrat buat bersorak di atas penderitaan orang lain. Padahal, kalau dipikir-pikir, kesalahan yang mereka buat belum tentu sebanding sama hukuman sosial yang kita timpakan. Tapi tetap aja, banyak yang semangat banget menghakimi, seolah-olah punya stempel “paling benar sedunia.”

Media sosial bikin semuanya makin parah. Sekali ada yang salah sedikit, atau bahkan cuma salah menurut opini mayoritas, langsung dihajar habis-habisan. Di-zoom, di-capture, disebar ke mana-mana. Kita berlomba-lomba jadi komentator yang paling pedas, paling sinis, paling menghina. Jangan sampai kalah kejam dari warganet lain, gitu ya? Dan anehnya, itu dianggap hiburan. Kita lupa kalau yang kita caci itu manusia juga. Dia punya keluarga yang mungkin baca. Punya hati yang bisa retak. Tapi ya itu, empati kayaknya makin mahal sekarang.

Aku pernah ada di posisi itu, dan jujur, rasanya… ngancurin mental banget. Bangkit dari salah itu udah berat. Tapi bangkit dari tatapan orang-orang yang memandangmu seolah kamu ini sampah? Itu jauh lebih berat. Kamu mau maju sedikit aja, langsung ada suara-suara bisik di belakang yang bilang, “Eh itu kan si… yang dulu blabla.” Dan suara-suara itu makin lama makin masuk ke kepala, jadi suara yang sama yang kamu ulang ke diri sendiri sebelum tidur. Kita jadi percaya diri kita sehina penilaian orang.

Padahal lucu sih, orang-orang yang paling semangat menghukum sering kali bukan yang paling suci. Bahkan mungkin pernah melakukan hal yang jauh lebih buruk tapi gak ketahuan aja. Kita semua punya dosa yang disembunyikan rapat-rapat, tapi seolah lupa fakta itu saat ada kesempatan buat menyalahkan orang lain. Seakan-akan menghancurkan reputasi satu orang bisa membersihkan aib diri sendiri.