Pingin Resign Tapi Pingin Gaji. Mau Apa Sih, Hati?


 Kadang aku suka ketawa sendiri tiap kali kepikiran buat berhenti kerja. Bukan karena aku benci suasana kantor, bukan juga karena aku gak cocok sama orang-orangnya. Mereka baik-baik aja kok. Tapi ya gimana ya… tiba-tiba aja pengen berhenti. Kayak ada suara dalam hati yang berbisik, “Udah lah, cukup. Pengen di rumah aja. Pengen hidup santai, tanpa email, tanpa deadline, tanpa rapat mendadak yang sering bikin mood ambruk.” Rasanya tuh pengen hidup yang lebih pelan, lebih banyak rebahan, lebih sering ngopi sore sambil lihat langit daripada lihat layar laptop.

Tapi begitu aku membayangkan hidup tanpa pekerjaan, langsung muncul layar peringatan besar di kepala, “Di rumah juga kerja, Bambang!” Realitanya tuh, meskipun resign, aku tetap butuh uang buat hidup. Tagihan tetap datang tanpa ada rasa iba. SPP anak, cicilan, listrik, internet, uang makan, semuanya nunggu dibayar. Dan kalau aku di rumah, kemungkinan besar aku akan tetap kerja. Bedanya cuma, ruangannya berganti dari kantor ke meja makan di rumah. Stress-nya ya bisa sama aja. Bahkan mungkin lebih parah karena gak ada alasan buat kabur ke pantry.

Jadilah aku stuck di dilema klasik, tetap kerja tapi lelah, atau berhenti kerja tapi malah tambah pusing. Hati ini tuh maunya banyak banget. Mau bebas, tapi juga mau aman secara finansial. Mau santai, tapi juga mau tetap produktif. Maunya fleksibel, tapi nggak mau miskin. Gimana nggak bikin bingung? Kadang aku sampai mikir, mungkin hati ini bukan labil, hanya realistis yang lelah.

Aku juga sering membayangkan hidup yang “lebih damai” kalau berhenti kerja. Bangun pagi tanpa alarm, sarapan dengan tenang, mengerjakan sesuatu sesuai mood, bukan sesuai perintah atasan. Tapi ya itu tadi… pikiran tentang masa depan selalu nyelinap di belakang kepala. “Kalau resign sekarang, habis itu mau ngapain?” Ada banyak hal yang pengin dicoba, banyak rencana yang entah masih mimpi atau bisa jadi kenyataan. Tapi tetap aja, ada rasa takut melangkah.

Kadang aku iri sama orang-orang yang bisa tiba-tiba resign tanpa drama. Mereka yakin banget sama jalan yang dipilih. Sementara aku? Setiap mau ambil keputusan besar, harus adu argumen dulu sama diri sendiri seminggu penuh. Hatiku bilang “udah resign aja,” tapi otakku langsung jawab, “okey tapi kamu makan apa besok?” Terus gontok-gontokan deh di dalam kepala.

Tapi mungkin memang wajar ya merasa bimbang. Hidup tuh kan bukan soal kaya apa kerjaan kita, tapi juga gimana kita menjalaninya. Aku cuma pengen hidup yang lebih sejahtera, bukan cuma di dompet, tapi juga di kepala. Kalau nanti aku benar-benar berhenti kerja, semoga karena aku siap. Dan kalau aku tetap bertahan, semoga juga karena aku masih punya alasan kuat untuk melanjutkan.

Untuk sekarang? Ya udah dijalanin dulu aja. Sambil tetap ngelus dada tiap Senin pagi, sambil terus nyimpen mimpi buat suatu hari bangun dan bilang,  “Oke, ini saatnya.”

Comments

Popular Posts