Sandal Hilang di Raudhah
Tadi di perjalanan pulang, entah kenapa pikiranku tiba-tiba nyelonong ke satu kejadian absurd yang sampai sekarang bikin aku senyum miris kalau inget, sandal yang ketinggalan pas umroh kemarin di Madinah. Padahal dari sekian banyak momen penuh haru, spiritual, dan dramatis, otakku malah nge-highlight tragedi sandal. Emang dasar hidup suka iseng sama kita.
Waktu itu aku salah satu dari rombongan yang beruntung dapat tiket masuk Raudhah. Dari puluhan orang, cuma lima yang lolos, dan aku termasuk yang jadwalnya paling awal. Harusnya ini momen yang bikin bangga, ya kan? Tapi entah kenapa, dari semua hal yang harus kugenggam dengan erat… aku malah gagal mempertahankan sandal sendiri. Luar biasa.
Pas antre di bagian dalam, yang udah satu langkah menuju Raudhah, aku naruh sandal tepat di depanku. Logikanya bagus, biar gampang dijangkau, biar nggak ketinggalan, biar aman. Tapi ternyata logika itu kalah telak sama momen deg-degan ingin segera masuk. Waktu petugas nunjuk dan shofku bergerak maju, aku langsung berdiri dengan pikiran melayang-layang, “Ya Allah, ini dia… Raudhah.” Dan di detik itu juga, seluruh memori tentang sandal otomatis terhapus dari RAM kepalaku.
Begitu selesai salat, doa, dan keluar dari area Raudhah, barulah otakku reboot. “Eh… sandalku?” Aku langsung nengok belakang, depan, kanan kiri, gak ada jalan untuk masuk ruangan sebelum Raudhoh tadi. Sandalku? Ya sudah berpindah dimensi. Kayaknya dia udah hijrah duluan ke pemilik baru tanpa pamit. Mungkin dia lebih siap berpetualang daripada aku.
Dan karena ini Madinah, kota yang suci tapi juga kota di mana sandal sering jadi korban keadaan, aku akhirnya pasrah melipir ke area sekitar pintu 339. Itu semacam mall khusus orang kehilangan sandal. Setiap kios kayak ngerti banget kondisi batin pembeli, pasrah, capek, dan cuma pengen alas kaki baru biar bisa lanjut hidup. Di sana aku akhirnya beli sandal baru, dan sumpah, itu sandal termahal yang pernah aku beli sepanjang hidup. Sampai aku mikir, “Ini sandal apa saham? Kok harganya segini?” Tapi mau gimana lagi? Mau nyeker? Nggak mungkin.
Pas aku cerita ke teman-teman rombongan yang lain, yang jadwalnya masuk Raudhah lebih belakangan, mereka ketawa tapi juga prihatin. Mereka bilang, “Wah, Mas Arif masuk pertama tapi keluar keluar kehilangan sandal. Pengalaman spiritual plus finansial, komplit.” Ya bener juga sih. Ibadah jalan, pengeluaran juga jalan.
Dan sekarang, tiap aku ingat tragedi sandal itu, aku malah merasa hangat. Ada lucunya, ada malunya, tapi juga ada rasa syukurnya. Dari lima orang yang lolos, aku salah satunya. Dari banyak orang yang masuk Raudhah, hanya sedikit yang punya cerita unik soal sandal. Mungkin ini cara Allah bilang, “Setiap perjalanan punya ujian. Kadang besar, kadang cuma sandal.”




Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!