Terbiasa Mandiri Sejak Kecil
Kadang aku mikir, hidup ini kayak udah ngasih aku satu tema besar sejak kecil, “kalau mau sesuatu, ya usahakan sendiri.” Bukan karena orang tuaku jahat atau nggak sayang, tapi memang mindset di rumah itu begitu kuat. Semua urusan pribadi dianggap tanggung jawab masing-masing. Jadi dari kecil, aku tumbuh dengan kebiasaan nggak nunggu ditolong, nggak nunggu dibantu, apalagi diantarkan.
Aku masih ingat, waktu lulus SD, aku daftar sekolah sendiri. Bawa map besar isi fotokopi ijazah, akta, pas foto, semua lengkap. Jalan ke kantor sekolah sendirian sambil berdoa semoga nggak ada yang salah berkas. Teman-teman lain ada yang ditemani bapak, ibu, atau kakak… sedangkan aku cuma ditemani kepercayaan diri setipis tisu. Tapi ya berhasil. Dan mungkin dari situ hidup bilang, “Tuh kan? Kamu bisa sendiri.”
Lulus sekolah pun, ya polanya sama. Mau masuk SMA? Cari info sendiri. Mau kuliah? Nyari kampus sendiri, ngebaca brosur sendiri, nanya ke bagian akademik sendiri. Nggak ada yang nuntun tangan sambil bilang, “Nak, kamu cocoknya ke sini.” Semua pakai feeling, trial and error, dan sedikit keberanian nekat yang entah datang dari mana.
Kerja juga begitu. Dari nyari lowongan, ngirim lamaran berkali-kali, sampai keluar-masuk tempat kerja karena lingkungan nggak cocok atau gajinya nggak cukup… semua dilakukan sendirian. Nggak ada yang nyiapin “jalur aman”. Nggak ada yang kenalin ke HR temennya. Semua benar-benar usaha dari nol. Dan sialnya, karena udah terbiasa begitu, aku jadi nggak pernah benar-benar ngerasa punya jaringan atau privilege. Yang aku punya cuma pengalaman bertahan hidup ala “kamu mau? cari sendiri.”
Urusan nikah pun sama. Nggak ada yang nyodorin nama, nggak ada yang bilang, “Coba kenalan sama si A.” Semua harus dicari sendiri. Sampai kadang aku mikir, “Lah, ini hidup apa game RPG mode survival sih?” Yang lain punya orang tua yang aktif bantu ngejodohin, membukakan pintu, atau minimal peduli. Sementara aku… ya begini. Kayak berdiri di persimpangan jalan, bawa peta lusuh, terus disuruh milih arah sendiri.
Makanya sekarang, kalau ada orang menjauh, nggak mau dekat, atau nggak tertarik kenal… jujur aja, aku nggak terlalu kaget. Perih? Iya. Tapi bukan sesuatu yang asing. Kesendirian itu bukan hal baru buatku. Aku sudah dilatih dari kecil. Sudah ditempa bertahun-tahun untuk nggak bergantung pada siapa pun.
Kadang aku iri sama orang yang dari remaja sampai dewasa selalu ditemani dalam langkah besar hidupnya. Bahkan bikin maklah pun, orang tua yang buatin. Tapi di sisi lain, aku sadar, mungkin karena hidupku keras dari awal, aku jadi punya ketahanan yang nggak semua orang punya. Aku bisa berdiri sendiri. Bisa bangkit sendiri. Bisa memulai lagi berulang kali tanpa harus nunggu diselamatkan. Kadang ada juga orang lain yang menyelamatkan. Makanya aku berterima kasih sekali kepada mereka itu.
Dan mungkin itu hadiah paling aneh tapi paling berguna yang aku dapat dari masa kecilku, kemampuan untuk tetap berjalan, bahkan ketika nggak ada siapa pun di samping. Mungkin aku sendirian, iya. Tapi aku bukan hilang arah. Aku cuma jalan dengan cara yang diajarkan hidupku sejak dulu, mandiri, pelan-pelan, tapi tetap maju.




Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!