Andai Saja Kepalaku Seringan Kepalanya Mereka
Kadang aku iri pada orang-orang yang pikirannya kayak jalan tol, lurus, lapang, nggak banyak belokan. Sementara kepalaku? Mirip gang sempit yang tiap sudutnya ada papan peringatan, awas kalau ini salah, awas nanti malu, awas nanti nyakitin orang, awas nanti tidak sesuai standar moral versi kamu sendiri. Capek. Dan lucunya, semua papan peringatan itu aku pasang sendiri. Makanya ketika aku membaca nasihat Habib Umar, “Berhentilah berpikir berlebihan. Sepotong besi rusak karena karatnya sendiri,” rasanya kayak ada yang nyentil jidatku pelan, eh, tapi kena sampai ke hati.
Ada masa-masa aku lihat orang lain hidup kayak air mengalir, santai, pasrah, tapi bukan pasrah yang malas, pasrah yang percaya. Mereka tidur tanpa menghitung ulang semua kalimat yang pernah mereka ucapkan hari itu. Mereka makan tanpa merasa harus membuktikan apa pun. Mereka kerja, pulang, beraktivitas, tanpa merasa ada drama batin setiap lima menit. Dan aku sering mikir, andai kepalaku bisa sesimpel itu. Andai aku punya pikiran yang sama tenangnya dengan pikiran orang-orang yang wajahnya selalu adem, yang kalau ditanya soal masa depan jawabnya, “Yah… dijalani aja.” Sementara aku? Menjalani sih menjalani… tapi dengan kepala yang riuh kayak konser metal.
Kadang aku bertanya-tanya, mungkin bukan hidupku yang berat, tapi pikiranku yang terlalu berisik. Aku sadar betul, banyak hal yang kutakuti sebenarnya cuma bayangan. Banyak kecemasan yang kubuat sendiri, seperti sutradara yang terlalu berambisi, semuanya harus sempurna, semua kemungkinan harus dihitung, semua potensi bencana harus masuk skenario. Padahal, seperti kata Habib Umar, hidup ini sudah ditulis oleh Penulis Skenario Terbaik. Tapi aku sering bertingkah seperti penulis cadangan yang mau memperbaiki jalan cerita Tuhan. Belagak sibuk, padahal cuma memperumit.
Dan ketika melihat orang-orang yang bisa hidup dengan prinsip sederhana, berbuat baik sebisanya, sisanya serahkan saja, aku merasa kecil. Tapi bukan kecil yang menyedihkan, lebih seperti kecil yang membuatku sadar bahwa aku masih harus belajar ribuan hal tentang tenang, pasrah, dan percaya. Karena kenyataannya, sebagian besar kecemasan di kepalaku tidak pernah benar-benar terjadi. Yang rusak duluan justru ketenanganku, bukan hidupku.
Mungkin di titik ini, aku cuma ingin belajar menerima bahwa pikiran tidak perlu selalu jadi medan perang. Bahwa tidak apa-apa tidak selalu siap, tidak selalu yakin, tidak selalu kuat. Tidak apa-apa kalau pikiran tidak selalu sejalan dengan pikiran orang lain. Tapi paling tidak, aku ingin percaya satu hal, kalau mereka saja bisa punya kepala yang ringan, mungkin aku juga bisa belajar ke arah sana, pelan-pelan, setahap demi setahap, sambil terus mengingat bahwa aku bukan besi, dan tidak wajib berkarat karena pikiranku sendiri.
Kadang, yang kita butuhkan hanyalah diam sebentar, tarik napas, dan berkata pada diri sendiri, Hei, tenang. Skenarionya bukan kamu yang nulis kok.




Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!