bayar kafaratnya… Meski Harus Lewat Pergolakan di Kepala
Kadang yang paling berat itu bukan bayar kafaratnya… tapi berdamai dengan pikiran sendiri. Aku beberapa kali merasa seperti berdebat sama diriku sendiri, “Ini perlu gak sih? Aku beneran wajib gak? Jangan-jangan cuma perasaan bersalah yang kelewat sensitif.” Tapi suara kecil di dalam diri itu gak pernah benar-benar diam. Ada bagian dalam hati yang bilang, “Sudahlah… kamu tahu kok, ada beberapa janji yang pernah kamu langgar. Tidak usah diperdebatkan terus. Ikhlaskan.”
Dan akhirnya, aku meniatkan diri. Bukan karena ingin terlihat alim, bukan supaya dipuji, justru sebaliknya. Aku bahkan sempat ragu menuliskannya, takut dianggap pamer. Padahal, ini cuma curhatan tentang betapa ribetnya manusia dengan pikirannya sendiri. Bayar kafarat itu sebenarnya sederhana, tapi memutuskan untuk melakukannya… nah, itu bagian yang sulit. Ada pertarungan kecil dalam hati, antara gengsi, ragu, takut salah, dan keinginan untuk bersih-bersih dari apa yang pernah terjadi.
Jujur saja, aku selama ini belum pernah benar-benar mencoba memenuhi kewajiban itu. Bukan karena malas, tapi karena selalu muncul banyak “tapi”. “Tapi kayaknya gak wajib deh…” “Tapi kok kayak lebay ya…” Padahal kalau dipikir-pikir, melanggar janji itu ya tetap melanggar janji. Dan kalau hati ini pengen lebih tenang, apa salahnya melakukan sesuatu yang punya nilai ibadah di dalamnya? Toh bukan rugi juga, justru mungkin ini bentuk tanggung jawab yang selama ini tertunda.
Yang paling menarik, ada momen ketika aku mulai menitipkan doa. Entah kenapa, begitu niat kafarat itu terbentuk, rasanya seperti pintu doa juga kebuka. Ada harapan-harapan kecil yang ikut terselip, semoga diampuni, semoga dipermudah rezeki, semoga diberi kelapangan, semoga segera dapat momongan. Rasanya seperti langkah kecil menuju versi diriku yang lebih jujur dan lebih bertanggung jawab.
Dan ya… aku sadar, semua ini bukan tentang uangnya, bukan tentang kewajibannya, tapi tentang keberanian untuk mengakui kekurangan diri sendiri. Tentang menghadapi rasa bersalah yang selama ini disembunyiin. Tentang ingin bersih, tapi harus melewati lumpur pikiran dulu. Tentang pergolakan kepala dan pertentangan hati yang kadang bikin capek.
Pada akhirnya, aku cuma ingin bilang, aku melakukan ini bukan untuk dilihat, tapi untuk merasa damai. Untuk berhenti menghindar dari hal-hal yang sebenarnya sudah lama menunggu untuk dibereskan. Dan semoga, dari niat kecil ini, Allah membuka pintu-pintu kebaikan yang lebih besar. Semoga hati ini lebih ringan, langkah lebih lapang, dan doa-doa yang terselip tadi perlahan satu per satu mulai dijawab.
Amin.




Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!