Ketika Tulisan Lebih Berani dari Penulisnya
Kadang aku tuh takut sama opiniku sendiri. Aneh ya? Kayak… yang nulis aku, yang mikir aku, tapi yang bikin aku was-was juga… ya aku sendiri. Dari sekian banyak tulisan yang pernah aku kirim ke media, baik online maupun cetak, ada rasa yang gak bisa hilang, takut kalau opiniku terlalu keras, terlalu jujur, atau terlalu “mengiris” sampai-sampai aku sendiri kaget membaca ulang.
Media cetak sih… belum ada yang tembus. Tapi di media online, beberapa tulisanku sudah tayang. Dan justru setelah tayang itu, kadang timbul rasa gak nyaman. Bukan bangga, malah kayak ngerasa tulisan itu bisa jadi bumerang. Ada opini yang aku tulis ketika emosiku sedang panas, ketika pikiranku lagi tajam-tajamnya. Di saat seperti itu, ketikan jari kayak pedang. Dan kadang pedang itu bukan cuma nusuk objek tulisannya… tapi balik nusuk ke dada sendiri.
Yang bikin tambah pikiran, beberapa media online sempat nolak. Katanya bahasanya terlalu keras, terlalu “menghantam”, atau kurang aman untuk dipublikasikan. Di sisi lain, ada media-media yang justru mau nerbitin, tapi judulnya diganti. Jadi lebih lembut, lebih diplomatis, lebih aman. Kadang aku baca judul itu sambil senyum kecut. “Oh, ternyata aku memang terlalu blak-blakan ya…”
Ironisnya, saat nulis aku merasa itu wajar. Aku merasa sedang menyampaikan kegelisahan yang nyata. Tapi begitu tulisan itu keluar, terbaca publik, di-share orang, tiba-tiba muncul rasa seperti… aku kebablasan gak ya? Ada yang takut menyinggung pihak tertentu, ada yang khawatir opini itu dianggap sok tahu, ada juga rasa takut kalau suatu hari orang menafsirkan tulisanku dengan cara yang bikin aku menyesal.
Aku ini bukan orang yang suka ribut sebenarnya. Bukan tipe yang suka jadi spotlight. Tapi giliran nulis, opiniku kayak hidup sendiri. Lebih berani dari aku. Lebih lantang dari suaraku. Lebih jujur dari keberanianku sendiri. Dan itu yang sering bikin aku ciut setelahnya.
Kadang aku self-talk gini, “Kenapa tulisanmu kok galak amat? Kok lugas banget? Kok gak pakai rem?” Tapi mungkin itu juga sisi lainku yang jarang keluar di dunia nyata. Di tulisan, aku bisa bicara tanpa harus lihat ekspresi wajah orang, tanpa takut disela, tanpa harus menahan diri. Dan hasilnya ya itu… opini yang kadang terlalu tajam.
Aku masih belajar sih. Belajar ngebedain mana opini yang perlu ditulis dan mana yang cuma perlu disimpan. Belajar ngasih rem sedikit tanpa harus mematikan gaya asliku. Dan yang paling susah, belajar berdamai dengan kenyataan bahwa setiap tulisan memang punya risiko. Bahkan tulisan yang pelan sekalipun.
Kalau ditanya sekarang, apakah aku nyesel pernah nulis opini-opini itu? Enggak juga. Tapi apakah aku takut? Iya. Takut kalau suatu hari tulisanku lebih berbahaya daripada niatku. Takut kalau kejujuran bentuk tulisan itu malah melukai diriku sendiri.
Tapi ya gimana… menulis tuh kadang satu-satunya cara aku bernapas. Jadi mungkin jawabannya bukan berhenti menulis, tapi belajar mengendalikan pedang itu pelan-pelan, biar tetap tajam… tapi gak selalu bikin aku merinding baca ulang.




Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!