Tuesday, September 1, 2009

Basah

Hari ketiga puasa Ramadhan ini kami lewati tanpa makan sahur. Kami sekeluarga, kedua orang tuaku, kakak dan aku, semua melewatkan acara makan sahur karena masih terlelap dalam tidur. Seperti sudah janjian, semua bangun kesiangan. Meskipun, pada pukul 02.00 am salah satu temanku mencoba membangunkanku, tapi karena ponsel aku setting silent, ada sms masuk pun aku tak tahu. Aku mengetahuinya ketika aku membuka mata hendak melihat jam yang tertera. Betapa kagetnya aku begitu tahu, jam digital itu menunjukkan pukul lima tepat. Terlambat. Tidak ada waktu lagi. Akhirnya kita menjalani hari ke tiga puasa Ramadhan ini tanpa sahur.

Seperti biasa, sebelum kami lanjutkan cerita ini, perkenalkan, namaku Ardian Sahru Ramadhan. Seorang mahasiswa yang tengah menjalin cinta dengan seorang guru muda, Ardiani Putri Ramadhani.

*****

Memandang senyumnya yang cerah hari ini. Aku hanya bisa tertawa. Sungguh indah dunia. Cahaya terang yang menyilaukan mata seakan-akan menertawakan kami semua. Terutama bagiku, tubuhku mengalami dehidrasi. Aku mengutuk diriku mengapa tidak bangun untuk sahur hari ini.

Panas sang surya yang menyengat, membuatku berpikir panjang jika mau melakukan aktivitas di luar ruangan. Sebisa mungkin, jadwal yang sudah aku buat, aku pindahkan semua di pagi hari. Kalau bisa, sebelum matahari benar-benar berada tegak di atas ubun-ubun kepala, jadwalku sudah selesai semua.

Jadwal pertama, aku harus ke apotik. Ada obat pesanan ibu yang harus aku beli. Tidak tanya obat apa, aku hanya diberikan contoh bekas wadahnya saja. Berangkatlah aku menuju Apotik Panggung Farma, Apotik yang terletak di selatan alun-alun kota Nganjuk ini setiap hari buka untuk melayani para pembelinya.

Tidak banyak bicara, karena memang hari ini aku sedang puasa bicara, aku menyodorkan obat pesanan ibuku kepada salah satu pelayan yang jaga. Pelayan itu menerima obat pesanan ibuku dan mencoba mencari-cari letaknya di antara deretan-deretan obat yang sudah di diletakkan dalam etalase kaca. Setelah beberapa waktu berselang, dia kembali tanpa membawa pesanan yang aku minta, “obat ini kami tidak punya. Obat yang lain kita ada, bagaimana?” pelayan itu menawarkan obat lainnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tak ingin coba-coba, karena ibuku memang tidak suka.

Aku balik dari apiti kiriam farma dan melanjutkan pada jadwal kedua, belanja. Jadwal belanja ini sebenarnya sudah aku jadwalkan jauh-jauh hari sebelumnya, tapi selalu aku tunda. Begitu ada kesempatan, belanja pun siap dilakukan.

Selesai belanja, aktivitas kembali seperti semula, duduk di depan komputer. Menyalakan komputer, mendengarkan musik dan mulai membaca buku yang belum sempat terbaca.

Suara Glendon Smith dari album Rendezvous Jazz for Intimate Dinding mengalun lembut dari komputerku. Selama beberapa jam, aku terbuai dengan alunan musik jazz yang lembut itu. Saking menikmatinya, aktivitas membacaku berhenti karena sudah tidak terjaga, tidur maksudnya.

Hari ketiga ini, sambil menunggu waktu berbuka, aku lebih memilih menghabiskan sisa hariku untuk lebih dekat dengan air. Sisa-sisa sinar sang surya yang tertinggal di bumi masih meninggalkan efek gerah bagi makhluk di bumi. Dari sisa-sisa tenaga yang ada dalam raga, aku putuskan untuk bermain-main dengan air. Melakukan semua aktivitas yang berhubungan dengan air. Berbasah-basah ria sambil menunggu waktu berbuka.

*****

Bulan sabit mulai nampak di langit. Semilir angin malam.
Laki-laki itu berbaring berdampingan dengan sosok orang lain tak begitu dikenalinya. Di sela-sela aktivitas membacanya, matanya pun selalu melirik ke arah sosok itu. Ada senyum malu-malu yang tersungging dari bibir laki-laki itu. Di tangan kanannya, tergenggam sebuah novel kecil, adzan subuh menghempas cinta. Novel itu sangat kecil, untuk bisa membaca bersama, laki-laki itu harus memegangi satu sisi dan satu sisi dipegang sosok orang lain di sampingnya itu.

Kedua insan manusia itu menatap buku yang sedang dibaca, dikelilingi dengan taburan bunga-bunga mawar yang mengelilingi mereka berdua. Dalam keheningan mereka terdiam. Mata saling menatap. Nafasnya turun-naik dengan detak jantung yang tak berauran. Lelaki itu menghela nafas pelan. Hening. Entah siapa dulu yang hendak memulai pembicaraan. Namun, hembusan angin malam seakan –akan meminta mereka untuk lekas saling menyapa.

“pejamkanlah matamu” pinta lelaki itu. Sosok yang di sampingnya menuruti keinginannya. Berlahan-lahan dia mulai menutup mata. Tubuhnya bergetar, mata terpejam.

Lelaki itu mendekat mendekap begitu erat. Sosok itu terdiam sesaat. Sebuah kecupan ringan terasa menyentuh pipinya. Dengan nafas yang menderu, jantung berdetak cepat. Malam yang dingin pun berubah menjadi hangat.

Dua insan manusia saling berpelukan. Lelaki itu menitikkan air mata. Air mata yang melukiskan kesedihan yang tergambar dari hati yang paling dalam. Air mata itu adalah beban yang selama ini terpendam. Air mata yang tercipta untuk meluapkan rasa kesedihan.

Lelaki itu melepas pelukannya dan berucap, “Kau tahu kenapa aku begitu membencimu?” sosok orang lain itu kemudian bangkit mengikuti lelaki itu. Kemudian dia duduk di sampingnya. Memandang laki-laki itu, lekat. Menunggu.

Lelaki itu menunduk, menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, “Karena aku begitu mencintaimu.” Mata terpejam, tubuhnya bergetar. Dia menangis. Benar-benar menangis.

Setitik air mata jatuh di atas pangkuannya. Basah.

Seberkas cahaya menyilaukan masuk ke dalam selaput mataku. Dengan sisa-sisa kenangan yang mulai memudar dari mimpi-mimpi itu, kini aku sadar, apa yang menyebabkanku ‘basah’ dan terlambat sahurku.

Hari ketiga Ramadhan ini terasa ‘basah’. Hanya bagiku.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!