Thursday, September 17, 2009

Father Wanna be

Liburan sekolah dimulai. Secara otomatis, kegiatan belajar mengajar terhenti sejak hari senin ini. Ramadhan yang tinggal menghitung hari dan lebaran idul fitri yang semakin mendekati hari, membuat aktivitasku yang padat semakin membuat kepalaku penat. Hari-hariku dikejar deadline yang telah aku buat sendiri untuk bulan Ramadhan ini.

Di tengah-tengah aktivitas yang semakin memadat, kucoba untuk meluangkan beberapa jam saja untuk mengendorkan urat syaraf dengan melihat acara TV. Meski aku tak begitu suka dengan acara yang dikemas dalam menyambut Ramadhan tahun ini, tapi hari senin ini, ada satu judul film yang tayang di salah satu stasiun TV swasta yang telah berhasil mencuri perhatianku. Satu film yang bercerita tentang keluarga yang mengadopsi seekor tikus menjadi bagian dari keluarga barunya.

Di tengah-tengah acara nontonku itu, entah mengapa, aku jadi berpikiran tentang peran ayah dalam keluarga. Pikiranku dipenuhi oleh angan-angan seandainya aku menjadi seorang ayah. Aku tak habis pikir, mengapa tiba-tiba saja aku berpikiran tentang itu. Padahal untuk masuk ke wilayah itu, bagiku itu masih sangat jauh sekali. Aku tak mau tergesa-gesa untuk melangkah ke arah sana. Tapi, untuk sekedar menambah pengetahuan, hitung-hitung untuk persiapan jika nanti menjadi seorang ayah. Aku telah mencari beberapa artikel yang berhubungan dengan peran seorang ayah dalam sebuah keluarga. Dan aku tertarik dengan salah satu artikel yang ditulis oleh Nakita/Santi.

Dalam tulisan yang dipublikasikan itu, mereka telah mengutip tulisan profesor psikologi yang merangkap direktur rumah sakit Ilmu Kedokteran Harvard, Steven Bolter dalam Daddy's Factor, "Melalui kehidupan dalam keluarga, seorang ayah bukan saja memengaruhi individualitas anaknya, tetapi juga memengaruhi kemampuannya bergaul dan bersikap dalam masyarakat."


Dalam buku tersebut Steven Bolter telah mengategorikan beberapa tipe ayah yang dapat memberi dampak utama pada putra-putrinya, di antaranya:

Tipe Ayah Bom Waktu
Ayah bertipe ini bersikap proteksionis atau seorang ayah yang menginginkan kesempurnaan dari anak-anaknya. Jika anak-anaknya gagal atau mendapat nilai jelek, si ayah tak segan memarahi atau menegur dengan keras. Segala sesuatu yang menyangkut si anak selalu dikaitkan dengan prestasi.

Dalam kesehariannya, obrolan si anak dengan ayah tipe ini pun tak pernah jauh-jauh dari urusan sekolah dan prestasi. Anak yang memiliki ayah bertipe bom waktu cenderung merasa kurang aman atau tidak mudah percaya pada orang lain. Terutama dalam pergaulan.

Tipe Ayah Acuh Tak Acuh
Ayah tipe ini cenderung cuek pada kebutuhan anak-anaknya, terutama pada kebutuhan psikis karena mereka merasa tanggung jawab utama seorang ayah adalah menjalankan peran sebagai breadwinner alias pencari nafkah. Ia enggan memantau perkembangan fisik, mental, dan emosi anak-anaknya karena menganggap istrinyalah yang bertanggung jawab dan memegang peranan penting dalam tugas ini.

Ayah yang acuh tak acuh juga memengaruhi perkembangan anak dalam arti ayah tipe ini kurang mengenalkan anaknya pada kesulitan dan tantangan yang mungkin banyak ditemui di luar rumah.

Tipe Ayah Pembimbing
Sejatinya, inilah tipe ayah yang penuh kehangatan dalam mendidik anaknya. Ia memiliki metode pendekatan dengan cara membimbing anak-anaknya agar mau belajar dan meningkatkan kualitas.

Ayah tipe ini juga selalu melek teknologi supaya dapat mengikuti zaman yang pada akhirnya dapat mendekatkan dirinya dengan anak-anak.

Selesai membaca artikel itu, tiba-tiba saja aku berpikiran untuk menanyakan kepada honeyku, apakah honeyku juga punya pikiran yang sama tentang hal ini? Apakah dia juga punya angan-angan yang sama dengan angan-angan yang aku pikirkan saat ini?

Jawaban pertanyaanku, baru bisa aku ketahui setelah dia membaca catatanku hari ini. Kalau dia membaca ini, semoga dia mau berbagi, apa yang dia pikirkan tentang ini.




No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!