Antara Takut Mati dan Lelah Hidup
Kalau ada yang tanya apakah aku masih membenci orang-orang yang menjatuhkanku, jawabanku tegas: tidak. Bukan karena aku tiba-tiba jadi orang bijak atau punya hati seluas samudera, tapi lebih karena aku udah nggak punya tenaga lagi untuk menambah daftar kebencian. Aku kecewa, jelas. Luka itu masih ada, masih terasa, kadang tiba-tiba nyesek kalau diingat. Tapi membenci? Aku udah di titik di mana menambah kebencian ke dalam hidupku rasanya cuma bikin aku tenggelam makin dalam. Aku cukup dengan rasa kecewa itu. Aku biarin aja dia menetap, tanpa harus berkembang jadi dendam yang bisa meracuni tiap sudut pikiranku.
Lucunya, aku sering merasa kalau orang lain benar-benar ingin aku hancur, ingin aku lenyap, ingin aku mati. Dan entah kenapa, kalaupun itu beneran terjadi, aku nggak akan marah. Aku malah merasa kayak akhirnya ada seseorang yang ngelakuin apa yang selama ini sering muncul di kepalaku sendiri: keinginan untuk mengakhiri hidup. Beberapa tahun terakhir, ide itu datang terlalu sering. Kadang samar, kadang begitu jelas sampai aku bisa ngebayangin detailnya. Dan jujur aja, aku bersyukur setiap kali ada distraksi kecil yang bikin aku batal. Karena di sisi lain, aku masih punya ketakutan yang sama besarnya: takut mati.
Itu yang bikin aku terjebak. Bayangin rasanya, di satu sisi aku terus-terusan dihantui keinginan buat bunuh diri, tapi di sisi lain aku juga dicekik rasa takut akan mati itu sendiri. Rasanya kayak berdiri di antara dua jurang. Ke kanan, aku bisa jatuh ke kematian yang aku sendiri takuti. Ke kiri, aku tetap hidup tapi terus disiksa oleh pikiran gelap yang nggak berhenti menggerogoti. Dan aku masih ada di tengah-tengah, nggak bergerak ke mana-mana, cuma nahan diri biar nggak jatuh ke salah satu sisi.
Kadang aku ngerasa, hidupku ini jadi semacam eksperimen kejam. Seberapa lama aku bisa tahan dengan pikiran-pikiran busuk itu? Seberapa lama aku bisa menunda dorongan untuk benar-benar melakukannya? Ada hari-hari di mana aku kuat, aku bisa bilang ke diriku sendiri: “Tahan sedikit lagi, jangan sekarang.” Tapi ada juga hari-hari di mana aku nyaris kehilangan kendali. Di saat-saat kayak gitu, aku cuma bisa ngurung diri, menjauh dari siapa pun, karena aku takut kalau ada sedikit saja pemicu tambahan, aku bakal beneran nekat.
Yang bikin makin berat, aku nggak punya siapa-siapa buat benar-benar ngerti apa yang aku rasain. Kalau aku cerita, mungkin yang datang malah nasihat, doa, atau kata-kata bijak yang justru bikin aku tambah sesak. Karena aku nggak butuh itu. Aku cuma butuh ruang untuk bilang kalau aku benar-benar nggak baik-baik saja. Aku butuh diakui kalau rasa putus asaku ini nyata, bukan sekadar drama yang bisa ditepis dengan kalimat manis.
Dan sekarang, setiap malam, aku masih dihantui pertanyaan yang sama: sampai kapan aku bisa bertahan? Aku takut banget kalau suatu saat aku berhenti takut pada kematian, karena itu berarti aku kehilangan rem terakhir yang menahanku. Kalau hari itu datang, aku nggak tahu lagi apa yang bisa menyelamatkanku. Jadi untuk sekarang, aku cuma bisa pasrah menjalani hari demi hari, menahan napas, dan berharap otakku nggak lagi membisikkan hal-hal yang terlalu gelap untuk kuhadapi sendirian.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!