Belajar Ikhlas di Ujung Agustus
Akhir Agustus ini aku sedang duduk berhadapan dengan diriku sendiri. Ada banyak hal yang ingin kuubah, tapi kenyataannya tidak semua bisa diatur sesuai maunya hati. Rasanya seperti berdiri di tepi pantai, melihat ombak datang silih berganti. Mau aku hentikan, jelas mustahil. Mau aku tolak, hanya akan membuatku lelah sendiri. Maka satu-satunya jalan adalah menerima, bahwa memang ada hal-hal yang harus dibiarkan mengalir sesuai kehendak Tuhan.
Aku pernah marah, bahkan pada hal-hal yang tidak bisa kulawan. Marah karena tidak sesuai rencana. Marah karena realita terlalu jauh dari harapan. Tapi makin ke sini, aku sadar bahwa kemarahan itu tidak membuat apa pun berubah. Justru yang ada hanya menambah sakit di hati. Rasanya seperti melawan arus sungai, padahal aku bisa saja berenang mengikuti aliran, sambil tetap menjaga arah agar tidak terseret terlalu jauh. Dan ternyata, saat aku berhenti melawan, beban itu jadi lebih ringan.
Belajar ikhlas bukan perkara mudah. Kadang aku sudah bilang, “aku ikhlas,” tapi hatiku masih menolak. Masih ada sisa kecewa yang diam-diam menetap. Tapi aku juga belajar, bahwa ikhlas itu proses, bukan hasil instan. Hari ini aku bisa bilang, “baiklah, aku menerima,” lalu besok aku masih teringat lagi, masih berat. Itu wajar. Yang penting aku tidak berhenti mencoba. Karena semakin sering aku melatih hati, semakin terbiasa aku dengan kenyataan bahwa tidak semua hal berjalan sesuai rencanaku.
Aku ingat, dulu aku sering memaksa sesuatu yang jelas-jelas tidak untukku. Aku bertahan pada hal yang seharusnya kulepaskan, hanya karena takut kehilangan. Tapi akhirnya aku sadar, yang memang bukan milikku tidak akan pernah bisa kugenggam. Seperti pasir di tangan, makin keras kugenggam, makin cepat ia jatuh. Dan saat aku berani membuka tangan, aku bisa melihat ada ruang kosong, ruang yang kelak akan diisi Tuhan dengan sesuatu yang jauh lebih baik.
Keyakinan itu yang menenangkan hatiku sekarang: bahwa apa pun yang terjadi, selalu ada maksud baik di baliknya. Tuhan tidak pernah salah menulis takdir. Kalau pun aku harus kehilangan, berarti memang itu bukan jalanku. Kalau pun aku harus menunggu, berarti sedang dipersiapkan sesuatu yang lebih indah. Bukankah sering kali kita baru sadar hikmahnya setelah waktu berjalan? Dulu aku kecewa karena satu pintu tertutup, tapi ternyata pintu itu memang harus ditutup agar aku menemukan jalan lain yang lebih sesuai.
Akhir Agustus ini, aku belajar berdamai dengan kenyataan. Aku belajar menerima tanpa membenci. Aku belajar melepaskan tanpa merasa kalah. Dan yang terpenting, aku belajar percaya, bahwa takdir Tuhan, seaneh apa pun bentuknya sekarang, adalah yang terbaik untukku. Mungkin bukan hari ini aku melihat jawabannya, mungkin bukan besok. Tapi aku yakin, suatu saat nanti aku akan tersenyum dan berkata, “Ternyata inilah yang terbaik. Ternyata Tuhan memang selalu tahu apa yang aku butuhkan.”
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!