Darah yang Nggak Mau Berhenti
Pagi ini awalnya biasa aja. Aku bangun, sarapan seadanya, nggak ada hal aneh yang terjadi. Tapi kepalaku masih berat, pikiranku masih turun ke dasar, kayak ada batu besar yang nggak bisa diangkat. Aku pikir, oke, hari ini akan jadi hari yang sama aja kayak kemarin: kosong, sesak, dan penuh pikiran yang berputar ke arah gelap.
Aku langsung panik, buru-buru lari ke puskesmas terdekat.
Pikiranku udah ke mana-mana, jangan-jangan ada komplikasi, jangan-jangan aku akan kehabisan darah. Sampai di puskesmas, ternyata mereka nggak bisa ngatasi. Dengan entengnya mereka bilang harus dirujuk ke IGD.
Aku nurut, apa lagi yang bisa kulakukan? Tapi sialnya, itu hari Minggu. Jadi di IGD pun, nggak ada dokter gigi yang jaga. Dokter umum yang ada di sana juga kelihatan bingung. Dia sendiri kayak nggak tahu apa yang harus dilakukan.
Bayangin, aku udah panik setengah mati, darah masih ngucur dari mulut, sementara dokter cuma bisa menyarankan hal receh: “Coba kumur pakai air dingin.”
Aku nurut, walau jelas-jelas darahnya tetap keluar.
Rasanya kayak dikerjain sama nasib.
Akhirnya dokter kasih dua pilihan: dikasih obat atau disuntik.
Aku diem sebentar, mikirin efek suntik yang masih aku takutkan sejak cabut gigi kemarin. Jujur, trauma itu masih segar, aku nggak siap buat disuntik lagi. Jadi aku pilih obat aja, walau sebenarnya nggak yakin bakal ngaruh.
Aku bawa pulang obat itu sambil terus menahan darah yang nggak berhenti. Rasanya jijik sekaligus menyeramkan. Setiap kali aku meludah, warnanya merah pekat, kayak ada sungai kecil yang mengalir dari gusiku.
Sampai di rumah, aku langsung minum obat. Entah karena efek obat atau karena tubuhku udah terlalu lelah, aku tiba-tiba ngantuk berat. Aku biarkan saja mataku merem, meski darah masih terasa di mulut. Dalam keadaan setengah pasrah, aku ketiduran. Begitu bangun, aku kaget sekaligus lega: darahnya udah mampet. Aneh rasanya. Dari panik luar biasa, deg-degan, sampai pasrah, akhirnya semua berhenti begitu aja.
Dan yang paling ironis dari semua ini, seharian aku jadi lupa sama pikiran bunuh diri yang biasanya nggak pernah lepas dari kepalaku. Rasa takut kehabisan darah itu menutup semua ruang buat kepikiran hal lain. Aku malah sibuk panik soal gusi yang bocor kayak kran rusak. Nggak ada ruang untuk merenung soal mati dengan caraku sendiri, karena tubuhku kayak udah sibuk melawan mati dengan caranya.
Rasanya konyol, tapi juga bikin aku mikir, ternyata darah segenggam bisa lebih bikin panik daripada seribu alasan buat mengakhiri hidup.
sumber foto
Comments
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungannya. Happy blogwalking!